Monday, April 9, 2012

Makalah Bahasa Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkah, rahmat dan karunianya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “Bahasa Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada junjunan Nabi besar kita yaitu Nabi Muhammad SAW. Syukur alhamdulilah kami telah dapat menyusun dan membuat Makalah ini walaupun sederhana sesuai keterbatasan dan kemampuan yang ada.
Penyusun Makalah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak dan pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada orang – orang yang telah membantu kami hingga makalah ini dapat terselesaikan, baik bantuan moral maupun material. Khususnya kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Bahasa Indonesia yaitu Ibu E. Sulyati. Kami sadar bahwa penulisan Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran yang membangun dan bermanfaat bagi kami untuk mencapai kesempatan.
Demikian kata pengantar yang kami berikan, semoga dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan umumnya bagi mahasiswa dan para pembaca.
Sumedang, April 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 1
1.3 Metode Penulisan........................................................................ 1
1.4 Tujuan......................................................................................... 2
1.5 Sistematika Penulisan.................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Berfikir Ilmiah ......................................................... 4
2.2. Hal-Ihwal Bahasa Sebagai Sarana Berfikir Ilmiah..................... 5
2.3 Pengertian dan Fungsi Bahasa................................................... 11
2.4 Struktur Bahasa dan Kosakata................................................... 13
2.5 Ciri-ciri Bahasa Ilmiah ............................................................. 18
2.6 Kelemahan Bahasa.................................................................... 20
2.6 Penyimpangan-penyimpangan Bahasa...................................... 20
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................... 22
3.2 Saran......................................................................................... 22

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Barangkali selama ini yang terbayang dalam pikiran atau benak kita tentang bahasa adalah sebuah pelajaran di sekolah yang sangat rumit. Setiap hari kita disuruh menulis bahan-bahan pelajaran di papan tulis, lalu disuruh menghapalnya. Tiba-tiba ujian dengan bahasa persis yang ada pada catatan. Nilainya kecil. Apalagi kalau yang dihadapi mata pelajaran bahasa inggris!
Seolah-olah bahasa merupakan musuh di sekolah. Bertahun-tahun mempelajarinya, tetapi tetap saja pelajaran itu sebagai sesuatu yang sulit. Padahal ketika kita disuruh berbicara atau menulis dalam keseharian di masyarakat, tidaklah sesulit yang kita pikirkan semasa kecil. Namun, ketika kita disuruh mennyampaikan informasi, baik secara lisan maupun secara tertulis dalam konteks ilmiah, tetap saja kesulitan itu muncul. Inilah barabgkali alas an mengapa bahasa masih tetap harus dipelajari, lebih tepat dipraktekkan, karena bahasa merupakan suatu bentuk keterampilan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Berfikir Ilmiah ?
2. Bagaimana Hal-Ihwall Bahasa Sebagai Sarana Berfikir Ilmiah ?
3. Bagaimana Pengertian dan Fungsi Bahasa ?
4. Apa Ciri-ciri Bahasa Ilmiah?
5. Apa Kelemahan Bahasa ?
6. Apa saja Penyimpangan-penyimpangan Bahasa ?
1.3 Metode Penulisan
1. Mendeskripsikan Pengertian Berfikir Ilmiah.
2. Mendeskripsikan Hal-Ihwall Bahasa Sebagai Sarana Berfikir Ilmiah.
3. Mendeskripsikan Pengertian dan Fungsi Bahasa.
4. Mendeskripsikan Ciri-ciri Bahasa Ilmiah.
5. Mendeskripsikan Kelemahan Bahasa.
6. Mendeskripsikan Penyimpangan-penyimpangan Bahasa.
1.4 Tujuan
a. Tujuan khusus
Memenuhi salah satu tugas mata kuliah bahasa Indonesia semester IV Tahun Akademik 2011-2012 .
b. Tujuan umum
Untuk memahami dan menerapkan materi dari pembahasan makalah ini ( Bahasa Sebagai Sarana Berfikir Ilmiah).
1.5 Sistematika Penulisan
Dalam menyajikan makalah ini, digunakan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, metode penulisan, tujuan dan sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Bab ini berisi penjelasan tentang bagaimana Pengertian Berfikir Ilmiah, hal-ihwal Bahasa Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah, Pengertian dan Fungsi Bahasa, Struktur Bahasa dan Kosakata, Ciri-ciri Bahasa Ilmiah, Kelemahan Bahasa dan Penyimpangan-penyimpangan Bahasa dalam Bahasa Indonesia .
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi tentang kesimpulan dan saran yang diambil dari pembahasan masalah tentang Pengertian Berfikir Ilmiah, hal-ihwal Bahasa Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah, Pengertian dan Fungsi Bahasa, Struktur Bahasa dan Kosakata, Ciri-ciri Bahasa Ilmiah, Kelemahan Bahasa dan Penyimpangan-penyimpangan Bahasa dalam Bahasa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Berpikir Ilmiah
Berpikir merupakan kegiatan [akal] untuk memperoleh pengetahuan yang benar.[1] Berpikir ilmiah adalah kegiatan [akal] yang menggabungkan induksi dan deduksi.[2] Induksi adalah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat umum ditarik dari pernyataan-pernyataan atau kasus-kasus yang bersifat khusus; sedangkan, deduksi ialah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat khusus ditarik dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum.[3]
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola yang disebut silogismus[4] atau silogisme.[5] Silogisme tersusun dari dua pernyataan (premis mayor dan premis minor) dan sebuah kesimpulan. Suatu kesimpulan atau pengetahuan akan benar apabila (1) premis mayornya benar, (2) premis minornya benar, dan (3) cara penarikan kesimpulannya pun benar.
Induksi berkaitan dengan empirisme, yakni paham yang memandang rasio sebagai sumber kebenaran. Sementara itu, deduksi berkarib dengan rasionalisme, yaitu paham yang memandang fakta yang ditangkap oleh pengalaman manusia sebagai sumber kebenaran.[6] Dengan demikian, berpikir ilmiah atau metode keilmuan merupakan kombinasi antara empirisme dan rasionalisme.[7]
2.2 Hal-ihwal Bahasa Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah
Berpikir ilmiah, dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya yang lebih luas, bertujuan memperoleh pengetahuan yang benar atau pengetahuan ilmiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita manusia jelas memerlukan sarana atau alat berpikir ilmiah. Sarana ini bersifat niscaya, maka aktivitas keilmuan tidak akan maksimal tanpa sarana berpikir ilmiah tersebut.
Sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi langkah-langkah (metode) ilmiah, atau membantu langkah-langkah ilmiah, untuk mendapatkan kebenaran. Dengan perkataan lain, sarana berpikir ilmiah memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah dengan baik, teratur dan cermat. Oleh karena itu, agar ilmuwan dapat bekerja dengan baik, dia mesti menguasai sarana berpikir ilmiah.[8]
Ada tiga sarana berpikir ilmiah, yakni bahasa, matematika, dan statistika. Bahasa, dalam konteks ini, memungkinkan manusia berpikir secara abstrak, sistematis, teratur dan terus-menerus dan menguasai pengetahuan. Dengan bahasa, manusia—berbeda dari binatang—bisa memikirkan dan membicarakan objek-objek yang tidak berada di depan matanya. Kehidupan dunia yang kompleks dibahasakan dalam penyataan-pernyataan yang sederhana dan bisa dimengerti. Bahasa pun menjadikan kita dapat mengomunikasikan pengetahuan kepada orang lain.
Ringkasnya, bahasa membantu ilmuwan berpikir ilmiah, yaitu berpikir induktif dan deduktif. Dengan perkataan lain, bahasa menjadi alat baginya untuk menarik kesimpulan-kesimpulan induktif maupun deduktif. Bahasa memungkinkan ilmuwan melaksanakan silogisme dan menarik kesimpulan atau pengetahuan ilmiah.
2.3 Pengertian dan Fungsi Bahasa
Banyak definisi tentang bahasa, tetapi di sini penulis hanya akan mengemukakan tiga definisi yang selaras dengan diskusi ini. Jujun Suparjan Suriasumantri menyebut bahasa sebagai serangkaian bunyi dan lambang yang membentuk makna.[9] Lebih lengkapnya, bahasa adalah “a systematic means of communicating ideas of feeling by the use of conventionalized signs, sounds, gestures, or marks having understood meanings”.[10] Dalam KBBI, diterakan bahwa bahasa ialah “sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri”.[11] Definisi-definisi bahasa tersebut menekankan bunyi, lambang, sistematika, komunikasi, dan alat.
Alhasil, bahasa memiliki tujuh ciri sebagai berikut:[12]
1. Sistematis, yang berarti bahasa mempunyai pola atau aturan.
2. Arbitrer (manasuka). Artinya, kata sebagai simbol berhubungan secara tidak logis dengan apa yang disimbolkannya.
3. Ucapan/vokal. Bahasa berupa bunyi.
4. Bahasa itu simbol. Kata sebagai simbol mengacu pada objeknya.
5. Bahasa, selain mengacu pada suatu objek, juga mengacu pada dirinya sendiri. Artinya, bahasa dapat dipakai untuk menganalisis bahasa itu sendiri.
6. Manusiawi, yakni bahasa hanya dimiliki oleh manusia.
7. Bahasa itu komunikasi. Fungsi terpenting dari bahasa adalah menjadi alat komunikasi dan interaksi.
Fungsi-fungsi bahasa dikelompokkan jadi ekspresif, konatif, dan representasional. Dengan fungsi ekspresifnya, bahasa terarah pada si pembicara; dalam fungsi konatif, bahasa terarah pada lawan bicara; dan dengan fungsi representasional, bahasa terarah pada objek lain di luar si pembicara dan lawan bicara.[13] Fungsi-fungsi bahasa juga dibedakan jadi simbolik, emotif dan afektif. Fungsi simbolik menonjol dalam komunikasi ilmiah, sedangkan fungsi afektif menonjol dalam komunikasi estetik.[14]
2.4 Struktur Bahasa dan Kosakata
Saking pentingnya struktur atau tata bahasa bagi kegiatan ilmiah, Suriasumantri mengajukan pertanyaan retoris: bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan penalaran yang cermat tanpa menguasai struktur bahasa yang tepat?[15] Penguasaan tata bahasa secara pasif dan aktif memungkinkannya menyusun pernyataan-pernyataan atau premis-premis dengan baik dan juga menarik kesimpulan dengan betul.
Tata bahasa ialah kumpulan kaidah tentang struktur gramatikal bahasa.[16] Lebih lanjut, Charlton Laird memerikan tata bahasa sebagai alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan makna dan emosi dengan memakai aturan-aturan tertentu.[17]
Selain struktur atau tata bahasa, yang penting pula dikuasai oleh ilmuwan adalah kosakata dan maknanya. Sebab, yang disampaikan oleh pembicara atau penulis kepada lawan bicaranya atau pembacanya sejatinya ialah makna (informasi, pengetahuan). Dan, makna ini diwadahi di dalam kosakata, yang dalam khazanah ilmiah dinamakan dengan istilah atau terminologi.
Tata bahasa, kosakata dan makna inilah yang kerap menimbulkan persoalan dalam kegiatan ilmiah lantaran kelemahan inheren bahasa. Maka, sekali lagi, andaikata para ilmuwan tidak cukup menguasai tata bahasa, kosakata dan makna, persoalan-persoalan dalam kegiatan ilmiah bakal kian ruwet.
2.5 Ciri-ciri Bahasa Ilmiah
Dalam komunikasi ilmiah, tentu yang dipakai adalah bahasa ilmiah, lisan maupun tulisan. Bahasa ilmiah berbeda dengan bahasa sastra, bahasa agama, bahasa percakapan sehari-hari, dan ragam bahasa lainnya. Bahasa sastra sarat dengan keindahan atau estetika.[18] Sementara itu, bahasa agama, dari perspektif theo-oriented, merupakan bahasa kitab suci yang preskriptif dan deskriptif, sedangkan dari perspektif anthropo-oriented, bisa mengarah pada narasi filsafat atau ilmiah.[19]
Bahasa ilmiah memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu informatif, reproduktif atau intersubjektif, dan antiseptik. Informatif berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan. Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari kesalahpahaman. Maksud ciri reproduktif adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya. Menurut Kemeny, antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari unsur informatif.[20]
Slamet Iman Santoso mengimbuhkan bahwa bahasa ilmiah itu bersifat deskriptif (descriptive language). Artinya, bahasa ilmiah menjelaskan fakta dan pemikiran; dan pernyataan-pernyataan dalam bahasa ilmiah bisa diuji benar-salahnya.[21] Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen menambahkan ciri intersubjektif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para pemakainya.[22]
2.6 Kelemahan Bahasa
Sampai di sini, kiranya sudah dimafhumi bahwa bahasa sangat vital bagi manusia dalam aktivitas ilmiah (maupun aktivitas non-ilmiah). Pun, bahasa memperjelas cara berpikir manusia, maka orang yang terbiasa menulis dengan bahasa yang baik akan mempunyai cara berpikir yang lebih sistematis.[23] Lebih jauh, sesungguhnya bahasa menstrukturkan pengalaman manusia dan, begitu pula sebaliknya, pengalaman manusia ini membentuk bahasa.[24]
Namun, bahasa pun tak luput dari sejumlah kelemahan inheren yang menghambat komunikasi ilmiah.[25] Pertama, bahasa mempunyai multifungsi (ekspresif, konatif, representasional, informatif, deskriptif, simbolik, emotif, afektif) yang dalam praktiknya sukar untuk dipisah-pisahkan. Akibatnya, ilmuwan sukar untuk membuang faktor emotif dan afektifnya ketika mengomunikasikan pengetahuan informatifnya. Syahdan, pengetahuan yang diutarakannya tak sepenuhnya kalis dari emosi dan afeksi dan, karenanya, tak seutuhnya objektif; konotasinya bersifat emosional.
Kedua, kata-kata mengandung makna atau arti yang tidak seluruhnya jelas dan eksak. Misalnya, kata “cinta” dipakai dalam lingkup yang luas dalam hubungan antara ibu-anak, ayah-anak, suami-istri, kakek-nenek, sepasang kekasih, sesama manusia, masyarakat-negara. Banyaknya makna yang termuat dalam kata “cinta” menyulitkan kita untuk membuat bahasa yang tepat dan menyeluruh. Sebaliknya, beberapa kata yang merujuk pada sebuah makna—bahasa bersifat majemuk atau plural—kerap kali memantik apa yang diistilahkan sebagai kekacauan semantik, yakni dua orang yang berkomunikasi menggunakan sebuah kata dengan makna-makna yang berlainan, atau mereka menggunakan dua kata yang berbeda untuk sebuah makna yang sama.
Ketiga, bahasa acap kali bersifat sirkular (berputar-putar). Jujun mencontohkan kata “pengelolaan” yang didefinisikan sebagai “kegiatan yang dilakukan dalam sebuah organisasi”, sedangkan kata “organisasi” didefinisikan sebagai “suatu bentuk kerja sama yang merupakan wadah dari kegiatan pengelolaan”.
Kelemahan-kelemahan bahasa tersebut sebenarnya telah menjadi kajian keilmuan tersendiri dalam, misalnya, filsafat analitik,[26] linguistik, psikolinguistik, sosiolinguistik.
Di akhir makalah ini, jelaslah bagi kita bahwa bahasa menjadikan manusia sebagai makhluk yang lebih maju ketimbang makhluk-makhluk lainnya. Jelaslah pula bahwa, di satu sisi, bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang sangat bermanfaat bagi aktivitas-aktivitas ilmiah. Di sisi lain, bahasa tidak alpa dari kelemahan-kelemahannya yang merintangi pencapaian tujuan dari aktivitas-aktivitas ilmiah. Kelemahan-kelemahan bahasa ini barangkali akan ditutupi oleh kelebihan-kelebihan dari dua sarana berpikir ilmiah lainnya, yaitu matematika dan statistika.
2.7 Penyimpangan-penyimpangan Bahasa
Karena kepentingan-kepentingan yang berbeda, bahasa harus digunakan dalam wilayah yang berbeda pula. Dalam wilayah estetik, bahasa emotif yang dominan; dalam wilayah moral dan filsafat, bahasa efektif yang dominan; dan dalam wilayah logika (ilmu), bahasa objektif yang dominan. Fenomena ini menurut Suriasumantri (1991) sebagai sesuatu kekurangan bahasa. Kekurangan lainnya tampak pada kata-kata yang membangun bahasa, yakni mengandung bahasa yang tidak jelas dan eksak. Sekalipun kita telah memberikan definisi tentang ilmu serinci mungkin, misalnya, namun kejelasan dan keeksakan sukar untuk kita dapatkan. Kata lain sebagai contoh adalah kata cinta. Hingga kini kata cinta ini tetap misterius. Semua orang, semua lapisan, semua pihak memiliki cinta. Tapi seperti apa cinta, tak ada yang mampu menjawabnya. Kekurangan lainnya adalah bahasa memiliki beberapa kata yang memiliki arti sama. Misalnya pengertian tentang “usaha kerja sama yang terkoordinasi dalam mencapai suatu tujuan tertentu”disebut “administrasi, manajemen, pengelolaan, dan tatalaksana. “sifat majemuk dari bahasa semacam ini bias menimbulkan kekacauan semantic. Contoh berikut dapat menggambarkan argument diatas.
Suatu hari terjadi percakapan antara sopri angkot jurusan cicaheum-ledeng yang berbahasa Sunda dengan kernetnya yang berbahasa Jawa. Angkot yang penuh muatan bak pindang tiba-tiba rodanya pecah. Umpatan mereka muncul dari sana sini. Melihat kondisi ini sang sopir cepat-cepat mengambil tindakan. “Nek, cokot dongkrak!” bengong sang kernet. Jawab kernet, “Atos!”, sambil mengumpulkan asap rokok. Ditunggu-tunggu oleh sopir, tak kunjung datang. Lalu dia memanggil lagi hingga berkali-kali. Tapi jawabnya tetap sama “Atos”. Terjadilah pertengkaran ….
Pertengkaran itu terjadi karena simbol “atos” antara orang Sunda dan oaring Jawa berbeda. “Atos” oang Sunda dikonsepsikan sebagai “sudah”, sedangkan dalam konsepsi orang jawa “atos” adalah keras atau kuat.
Kekurangan lainnya adalah bahasa sering berifat berputar-putar (sirkuler) dalam mempergunakan kata-kata, terutama dalam memberikan definisi. Misalnya, kata “pengelolaan” didefinisikan sebagai “kegiatan yang dilakukan dalam sebuah organisasi”, sedangkan “organisasi” didefinisikan sebagai “suatu bentuk kerasama yang meupakan wadah dari kegiatan pengelolaan”. Contoh lain “data” didefinisikan sebagai “bahan yang diolah menjadi infomasi”, sedangkan “informasi” didefinisikan sebagai “keterangan yang didapat dari data”.
Selain kekurangan di atas, bahasa juga mengandung makna konotatif. Karena kekonotatifan inilah sering terjadi kesalahan dalam menafsirkan informasi. Terjadilah kekacauan semantik, seperti tampak pada percakapan antara sopir dengan kernetnya.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, salah satu antisipasinya adalah dengan menyadari dalam wilayah atau konteks apa dan di mana kita menggunakan bahasa. Dalam wilayah logika atau dalam konteks ilmiah, bahasa yang digunakan harus bersifat objektif, eksplisit dan reproduktif. Di samping itu penguasaan kaidah-kaidah kebebasan harus menjadi persyaratan utama.
Demikianlah sedikit pengantar menuju penyadaran kita akan bahasa. Pada prinsipnya, untuk menguasai bahasa, kita harus selalu mempelajarinya dan mnggunakannya, baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Sebagai panduan awal, pada bab-bab berikut disajikam aturan-aturan main bebahasa, khususnya dalam komunikasi tulis ilmiah.
Pengertian Penyimpangan Berbahasa
Penggunaan bahasa Indonesia sering terjadi penyimpangan yang relatif konsisten. Penyimpangan ini sesuai dengan tataran bahasa, terjadi pada tataran fonologi. Morfologi, sintaksis, kosa kata dan juga ejaan. Uraian ini tidak bermaksud menelaah pemnyimpangan berbahasa di dalam setiap tataran tersebut melainkan hanya menelaah penyimpangan tataran morfologi dan sintaksis. Pencatatan yang cermat, melainkan hanya didasari pengamatan yang dikatakan bersifat sepintas. Selain itu perlu juga dikemukakan bahwa pendekatan telaah yang digunakan adalah pendekatan ketatabahasaan dan pendekatan efektivitas berbahasa. Artinya, suatu konstruksi dikatakan menyimpang apabila konstruksi tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia atau tidak efektif.
Terjadi Penyimpangan (Kesalahan Berbahasa)
Disadari atau tidak, seorang pelajar tahap permulaan di dalam usahanya menguasai bahasa kedua atau bahasa asing terpaksa menggantungkan dirinya kepada apa yang telah diketahuinya di dalam bahasanya sendiri (B1). Struktur bahasa ibu atau bahasa yang sudah dimilikinya berbicara banyak di dalam upaya pembentukan struktur bahasa yang dipelajarinya baik bahasa asing maupun bahasa kedua. Apabila struktur B2 berbeda dengan struktur B1, maka rasa ketergantungan pada B1 tersebut akan berakibat terjadinya penyimpangan di dalam menggunakan B2. Para ahli analisis konstrastif maupun ahli analisis penyimpangan berbahasa di dalam upaya menguasai B2 atau bahasa asing pada umumnya disebabkan karena hal-hal sebgaai berikut.
1) Seseorang masih terpengaruh sistem B1. Penyimpangan bentuk interferensi masih sangat tinggi. Penyimpangan yang terjadi tergolong penyimpangan antarbahasa. Seperti tampak dalam konstruks-konstruks rumahnya paman kami, istrinya pak Madun, dikebapakkan, dikekantorkan, penuh oleh gambar, dijiwai oleh semangat empat lima, dan diperbaiki oleh kami.
2) Seseorang sudah tidak terpengaruh oleh struktur B1 namun ada kemungkinan ia terpengaruh oleh subsistem bahasa yang dipelajarinya. Terjadilah interferensi bahasa. Penyimpangan tipe overgeralization atau fase analogy juga diperkorek tergolong penyimpangan yang terjadi karena pengaruh subsistem bahasa yang dipelajari. Contoh berikut merupakan penyimpangan yang dibicarakan.
I taked the bus with Mommy
She must goes to school
Every day
Seorang asing yang tergolong pemula di dalam mempelajari bahasa Indonesiamengucapkan kallimat berikut.
Soya bersatu prgi ke Jakarta
Yang dimaksud bersatu adalah sendirian. Bentuk ini merupakan overgeneralisasi dan berdua, bertiga, dan sebagainya. Demikian juga bentuk-bentuk seperti ditaiki, dipergikan, dipasak tergolong contoh penyimpangan overgeneralisasi.
3) Ia terpengaruh oleh suatu sistem (baru) yang dibuat atau akibat perkenalannya. Kesalahan yang tergolong penyimpangan intrabahasa ini merupakan pe- nyimpangan yang cukup tinggi frekuensi pe- nyimpangannya dalm pengajaran bahasa Indonesia. Penyimpangan-penyimpangan seperti kontaminasi, struktur kata yang tidak sejenis, simulfiksasi, penanggalan afiks dan sebagainya tergolong pada penyimpangan yang ketiga ini.
Kontaminasi
Istilah kontaminasi berasal dari bahasa asing. Di dalam bahasa Inggris terdapat kata contamination yang berarti pengotoran atau pencemaran. Kata tersebut diserap oleh bahasa Indonesia hingga menjadi “kontaminasi” yang berarti keracunan atau kekacauan. Apabila didefinisikan, kontaminasi adalah gejala penggunaan bahasa yang terjadi karena perserangkaian atau penggabungan dua kata atau dua kalimat yang tidak selaras sehingga terjadilah kekacauan bentuk bahasa.
Di dalam bentukan bahasa ada beberapa contoh bentukan kontaminasi seperti merubah, kesemuanya mengenyamping- kan, dipertinggikan, dipelajarkan, berulangkali, dan menundukkan badan. Merubah merupakan bentuk hasil perserangkaian mengubah dan berubah; kesemuanya merupakan bentuk kata hasil perserangkaain keseluruhan dan semuanya; mengenyampingkan merupakan bentuk perserangkaian mengesampingkan dan menyampingkan; dipertinggikan merupakan bentuk perserangkaian dipertinggi dan ditinggikan; dipelajari merupakan merupakan bentuk perserangkaian dari dipelajari dan diajarkan; berulangali merupakan hasil perserangkaian dari berulang-ulang atau berkali-kali; dan menundukkan badan merupakan hasil perserangkaian dari menundukkan kepala dan membungkukkan badan.
Seperti halnya di dalam bentuk kata, di dalam bentuk kalimat pun kontaminasi itu terjadi karena penggabungan dua kalimat yang tidak selaras. Kalimat-kalimat yang dugabungkan dengan cara salah ini lazimnya kalimat yang berstruktur aktif dengan kalimat yang berstruktur pasif. Misalnya kalimat berikut.
1) Persoalan itu yang saya tidak mengerti.
Kalimat di atas merupkan bentuk kontaminasi dari kalimat :
Persoalan itulah yang tidak say pahami. (pasif) Kalimat di atas merupakan bentuk kontaminasi dari kalimat :
a. Persoalan itulah yang tidak saya pahami. (pasif)
b. Saya tidak mengerti persoalan itu. (aktif)
(1) Buku itu kami mempelajarinya kemarin.
Kalimat diatas merupakan bentuk kontaminasi dari kalimat :
a. Buku ini kami pelajari kemarin. (pasif)
b. Kami mempelajari buku itu kemarin. (aktif)
(2) Pada cabang lari 100 meter putra diikuti 20 peserta.
Kalimat diatas merupakan bentuk kontaminasi dari kalimat :
a. Pada cabang lari 100 meter terdapat 20 peserta. (pasif)
b. Cabang lari 100 meter putra diikuti 20 peserta. (aktif)
(3) Kepada hadirin mempersilahkan berdiri.
Kalimat diatas merupakan bentuk kontaminasi dari kalimat :
a. Kepada hadirin kami mempersilahkan berdiri. (aktif)
b. Hadirin kami persilahkan berdiri. (pasif atau
c. Hadirin dipersilahkan berdiri. (pasif)
Demikian pula kalimat-kalimat dibawah ini merupakan beberapa contoh lain tentang kalimat kontaminasi
(4) Menurut dokter di dalam darah anak itu mengandung bibit penyakit.
(5) Karena naiknya harga BBm menyebabkan naiknya harga keperluan sehari-hari.
(6) Walaupun hari sudah sore, tetapi ia berangkat juga.
(7) Di dalam bidang keamanan sangat memperhatikan siskamling.
(8) Dengan dibangunnya beberapa hotel bertaraf internasional, menyebabkan daerah kami menjadi terkenal.
(9) Diantara kedua bangunan itu memiliki gang untuk jalan.
(10) Menurut penduduk yang melihat jatuhnya pesawat menerangkan bahwa sebelum pesawat itujatuh, asap mengepul di bagian ekor pesawat.
(11) Di dalam bahasa Indonesia tidak mengenal konyugasi.
Pleonasme
Pleonasme berasal dari bahasa Latin Pleonasme (dalam bahasa Griek pleonazein) yang berarti kata yang berlebihan. Di dalam ilmu bahasa pleonasme berarti pemakaian kata yang tidak diperlukan karena maknanya sama dengan kata yang telah disebutkan. Oleh karena itu, Pleonasme bukan saja dianggap gejala yang mengurangi keefektifan kalimat, melainkan termasuk kesalahan atau penyimpangan yang harus dihindari pemakaiannya.
Dalam bahasa Indonesia dikenal beberapa macam gejala pleonasme, diantaranay (1) terdapat dua kata atau lebih yang memepunyai arti serta fungsi yang sama di dalam sebuah ungkapan.
1) Sangat menarik sekali adalah merupakan tindakan yang terpuji
2) Agar supaya para mahasiswa mengetahui
3) Sejak dari kemarin
4) Seperti umpanya tata kalimat, kosakata, dst
5) Demi untuk terpenuhinya keinginan mereka…
Kata sangat mempunyai arti yang sama dengan sekali. Demikian pula berfungsi sama, yaitu sebagai atribut atau keterangan kualitas kata menrik. Kata adalah mempunyai arti sama serta fungsi sama dengan merupakan; agar mempunyai arti yang sama dengan supaya yaitu sebagai kata penghubung harapan; sejak mempunyai arti serta fungsi sama dengan umpama; demikian pula demi dan untuk meupakan kata depan yang berarti serta berfungsi sama. Oleh karena itu, ungkapan diatas seharusnya berbunyi:
1) Sangat menarik atau menarik sekali.
2) Adalah tindakan yang sangat terpuji atau merupakan tindakan yang terpuji.
3) Agar mahasiswa mengetahui.
4) Sejak kemarin atau dari kemarin.
5) Seperti tata kalimat, kosakata, dst.
6) Demi terpenuhinya keinginan mereka…
2) terdapat dua kata atau lebih yang mempunyai kesamaan makna. Makna kata yang satu
terkandung di dalam makna yang lain. Misalnya ungkapan-ungkapan pada berdatangan seharusnya pada datang atau berdatangan; saling dahulu mendahului seharusnya dahulu mendahului atau saling mendahului; banyak Negara-negara seharunya banyak Negara atau negara-negara, dan masih banyak struktur frase yang menyimpang seperti di atas.
Gajala ploenasme macam kedua ini terjadi karena bahasa Indonesia mempunyai kata-kata keterangan penentu jamak, seperti pada, saling, silih, para, banyak, semua, dan juga memiliki struktur kata yang bermakna jamak yaitu struktur kata berulang. Karena bahasa Indonesia tidak mengenal concord atau agreement ( kata penentu jamak harus berpasangan dengan kata benda jamak) maka perserangkaian kata keterangan penentu jamak dengan kata benda jamak atau kata kerja jamak merupakan perserangkaian yang berlebihan atau menyimpang dari ketentuan efektifitas pengungkapan.
Baik kata penentu tunggal maupun kata penentu jamak tidak berfungsi mengubah atau tidak mempengaruhi struktur kata yang diterangkannya. Diduga atau ada kecenderungan bahwa terjadinya pleonasme di dalam pemekaian bahasa Indonesia disebabkan karena hal-hal sebagai berikut.
1) Pembicara tidak mengetahui bahwa kata-kata yang diucapkan itu menunjukan pemakaian kata yang berlebihan. Di dalam hal ini pleonasme terjadi tanpa kesengajaan
2) Pembicara tidak menyadari bahwa kelompok kata yang diungkapkannya itu memepunyai pengertian yang berlebihan. Di dalam hal ini pun pleonasme terjadi tanpa kesengajaan
3) Pembicara merasa tidak tegas seandainya ungkapan itu tanpa pleonasme. Pleonasme bertujuan menegaskan pernyataan dan terjadi penuh kesadaran dan kesengajaan.
Pemecahan Gatra Pasif
Bahasa Indonesia mengenal empat macam struktur kalimat pasif umum, pasif yang predikatnya berafiks di-; pasif keadaan, yaitu pasif yang predikatnya berafiks ke-an; dan pasif persona, pasif yang predikatnya berkata ganti.
Kalimat pasif yang berhubungan dengan penyimpangan sintaksis macam yang ketiga ini adalah pasif bentuk persona. Kalimat pasif bentuk persona adalah kalimat pasif yang predikatnya berpola (Kt.Ket.)+ Kt.Gt.+PKt.K+(Akh), misalnya (akan) = kita + bicara + + (-kan).
Beberapa contoh lain tidak kami kehendaki
Harus mereka jelajahi
Sedang Anda baca
Sudah Bapak ijinkan
Di dalam penggunaan stuktur kalimat pasif di atas sering dijumpai adanya peyimpangan. Kesatuan pola kalimat di atas sering menyimpang menjadi :
Kami tidak kehendaki
Mereka harus jelajahi
Anda sedang baca
Bapak sudah izinkan
Beberapa contoh lain penyimpangan bentuk gatra pasif di dalam kalimat :
(1) semua berkas yang Saudara sekiranya perlukan kami akan bereskan untuk segera mengirimkannya.
(2) Anak-anak didik itu kita harus amati setiap saat agar perubahan demi perubahan dapat kita catat.
(3) Seperti telah saya katakan Saudara harus menceritakan apa yang telah Saudara lakukan.
Kesalahan karena Pengaruh Kalimat Asal
Bentuk kalimat pasif merupakan variasi dari bentuk kalimat aktif. Makna kalimat variasi sama dengan makna kalimat asal atau kalimat yag divariasikan. Kalmat-kalimat aktif seperti :
1) PSSI sering mendatangkan pelatih-pelatih dari luar negeri.
2) Kita sangat menyenangi kebijaksanaan semacam itu.
Dapat divariasikan menjadi kalimat pasif eperti berikut :
(1a) pelatih dari luar negeri sering didatangkan (oleh) PSSI.
(2a) kebijaksanaan macam itu sangat kita senangi.
Bentuk Kata yang Tidak Paralel
Di dalam sebuah kalimat majemuk sering dijumpai bentuk kata predikat yang satu tida sejalan dengan bentuk kata predikat yang lain, sehingga hubungan dengan subjeknya tidak jelas.
Penyimpangan Kata Tugas
Kata-kata tugas seperti adalah, mengenai, daripada, sering disisikan terhadap kontruksi-kontruksi yang tidak memerlukannya sehingga kalimat yang bersangkutan tidak ata kurang efektif. Sebaiknya di dalam kegiatan berbahasa resmi, kata tugas dengan di dalam paduan sesuai dengan, dari atau atas di dalam paduan terdiri dari atau terdiri atas sering kali ditinggalkanl
Penyimpangan Afiksasi
Afiksasi atau proses pembubuhan imbuhan ialah pembentukan kata dengan cara melekatkan afiks pada bentuk dasar. Hasil afiksasi disebut kata berafiks atau kata berimbuhan. Contohnya: ber- pada berkembang, -el- pada telunjuk, -an pada lemparan, dan per-an pada perjanjian. Paparan lebih rinci akan dibahas pada afiksasi bahasa Indonesia.
Afiksasi sering pula disinonimkan dengan proses pembubuhan afiks. Seperti telah dijelaskan, afiksasi merupakan salah satu proses morfologis. Afiksasi dalam bahasa Indonesia sangat memegang peranan penting. Hal itu didasarkan pada suatu kenyataan, bahwa bahasa Indonesia termasuk rumpun bahasa aglutinatif.
Afiksasi yaitu penggabungan akar (istilah lain untuk morfem bebas) atau pokok kata dengan afiks (Samsuri, 1982:190). Namun Ramlan (1983:47) lebih lanjut menyebut afiksasi itu sebagai pembubuhan afiks pada suatu satuan (bentuk), baik tunggal maupun kompleks untuk membentuk kata. Hasil afiksasi disebut kata berafiks atau kata berimbuhan. Lubis (1954:39) dan Anshar (1969:9) menyebutkan dengan istilah kata bersambungan.
Dari dua pernyataan di atas, kita dapat mengambil satu perbedaan pengertian yang dilontarkan oleh Samsuri dan Ramlan. Perbedaan bukan terletak pada peristiwa afiksasinya, tetapi terletak pada bentuk dasarnya. Samsuri menyebutkan bahwa bentuk dasar yang dilekati afiks berupa akar (bentuk tunggal bebas atau morfem bebas) dan pokok kata, sedangkan Ramlan, menyebutnya bentuk tunggal maupun kompleks. Dalam hal ini, penulis sependapat dengan Ramlan, bahwa pada dasarnya afiksasi dalam bahasa Indonesia.tidk ahanya dibentuk dari bentuk dasar yang bermorfem tunggal, tetapi bisa pula bentuk kompleks. Agar lebih jelas perhatikanlah korpus berikut.
Afiks
Bentuk Dasar
Hasil
Tunggal
Kompleks
peN-
peN-an
per-an
ber-
-an
di-kan (?)
meN-kan (?)
temu
tampil
-
-
makan
-
-
-
-
-
tanggung jawab
pakaian
-
berhenti
satu padu
ke samping
penemu
penampilan
pertanggungjawaban
berpakaian
makanan
diberhentikan
menyatupadukan
mengesampingkan
Dengan memeprhatikan contoh yang berada dalam korpus, nyatalah bahwa bentuk dasarkata berafiks bahasa Indonesia mungkin berupa bentuk tunggal (temu, tampil, makan), mungkin kompleks (tanggung jawab, pakaian, berhenti, satu padu, ke samping). Bentuk dasar kata berafiks mungkin berupa: morfem bebas atau istilah Samsuri akar, seperti makan, mungkin berupa pokok kata seperti juang; mungkin berupa kata berafiks seperti pakaian, berhenti; mungkin gabungan kata seperti tanggung jawab; atau mungkin frase seperti ke samping.
Berdasarkan kenyataan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa afiksasi atau pembubuhan afiks ialah pembentukan kata baru dengan carameletakkan afiks atau imbuhan pada suatu bentuk dasar, baik bentuk tunggal maupun kompleks.
Proses afiksasi dalam bahasa Indonesia, dibedakan menjadi empat macam. Pertama, proses pelatakkan afiks di muka bentuk dasar yang bisa disebut prefiksasi (prefixation; proses pembubuhan awalan); contoh: ke- + kasih menjadi kekasih. Kedua, proses pelatakkan afiks di tengah-tengah bentuk dasar yang biasa biasa disebut infiksasi (infixation; proses pembubuhan sisipan); contoh –el- + tunjuk menjadi telunjuk. Ketiga, proses peletakkan aiks pada akhir bentuk dasar yang biasa disebut sufiksasi (suffxation; proses pembubuhan akhiran); contoh: -an + genang menjadi genangan. Keempat, proses pembubuhan afiks dengan cara membubuhkan afiks di awal dan di akhir (mengapit) bentuk dasar sekaligus disebut konfiksasi ambifikasi (konfixation; ambifixation; proses pembubuhan imbuhan gabungan), seperti: ke-an + mati menjadi kematian (Verhaar, 1984:60).
1) Afiks atau Imbuhan
Jika kita membicarakan afiksasi, maka kita tidak bisa memisahkannya dengan afiks atau imbuhan itu sendiri. Artinya, pembicaraan afiksasi atau proses pengimbuhan harus selalu diikuti oleh pembicaraan afiks atau imbuhan itu sendiri. Keraf (1982:93) menyebutnya, hubungan keduanya seperti ikan dengan air.
Pada bagian terdahulu, telah dijelaskan bahwa afiks disebut bentuk ikat secara morfologis (baca kembali bentuk bebas dan bentuk ikat). Ahmadslamet (1981:59) mendefinisikan afiks sebagai satuan atau bentukan yang merupakan morfem ikat yang selalu hadir dengan keadaan bergabung dengan bentukan lainnya dalam membentuk bentukan lainnya yang lebih besar. Afiks ialah satuan (ter-)ikat yang dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan lain untuk membentuk kata.untuk menjelaskan pengertian di atas, perhatikanlah contoh berikut!
Afiks
Bentuk Dasar
Kata Berafiks
ber-
di-
-an
-i
-kan
-el-
peN-an
jalan
tendang
kunjung
duduk
masuk
tapak
nanti
berjalan
ditendang
kunjungan
duduki
masukkan
telapak
penantian
Berdasarkan tebel di atas jelas terlihat bahwa afiks (ber-, di-, -an, -i, -kan, -el-, peN-an; dan banyak lagi) kalau berdiri sendiri tidak mempunyai arti apa-apa. Bentuk tersebut (afiks) tidak dapat beriri sendiri dalam tuturan biasa. Afiks baru mempunyai arti atau makna jika mereka digabungkan pada bentuk lain seperti terlihat pada korpus di atas.
Dapat dilihat pada korpus di atas, afiks berfungsi membentuk kata-kata baru. Bahkan menurut Ramlan, afiks pun selain membentuk kata, juga membentuk pokok kata seperti pada duduki dan masukkan. Oleh karena itu ada pula yang menyebut bentuk-bentuk seperti itu dengan istilah pokok kata kompleks. Ahmadslamet (1982:90) tidak sependapat dengan istilah pokok kata untuk contoh seperti itu sebab pokok kata diartikan sebagai morfem ikat. Bentuk-bentuk seperti itu bisa hadir dalam tuturan biasa atau dalam kalimat secara bebas, seperti: “Buku itu sudah saya masukkan ke dalam tas.” Atau “Jangan anda duduki kursi itu.”. bentuk seperti itu beliau namakan kata kerja yang memiliki cirri khusus.
Ada bentuk lain yang mirip afiks seperti di-, ke-, dari, -lah pada di pinggir (jalan), ke sudut, dari kota, makanlah; juga bentuk-bentuk seperti: ku-, -ku, -mu, -nya, -isme pada kutarik, bajuku, dagumu, hidungnya, patriotisme. Golongan pertama disebut morfem ikat secara sintaksis dan yang kedua disebut klitik. Coba kaji ulang bahasan bentuk bebas dan bentuk ikat 2.4.
Berdasarkan paparan di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa afiks atau imbuhan merupakan bentuk satuan terikat yang jika dilekatkan pada bentuk dasar akan mengubah makna bentuk tersebut.
2) Macam-macam Afiks
Afiks dapat diklasifikasikan menjadi bermacam-macam. Hal itu akan sangat bergantung pada segi tinjauannya. Macam afiks dapat ditinjau dari posisi atau letaknya, asalnya, serta produktif tidaknya.
a) Macam Afiks Ditinjau dari Letaknya
Dari letak atau posisi melekatnya, afiks dapat dibagi menjadi empat macam yaitu prefiks atau awalan, infiks atau sisipan, sufiks atau akhiran, dan konfiks atau imbuhan gabungan (ada pula yang menyebutnya ambifiks, imbuhan ganda).
Prefiks atau awalan ialah afiks atau imbuhan yang dilekatkan pada awal bentuk dasar. Infiks atau sisipan yaitu afiks atau imbuhan yang dilekatkan di tengah-tengah bentuk dasar. Sufiks atau akhiran yaitu afiks atau imbuhan yang dilekatkan sesudah bentuk dasar. Konfiks atau imbuhan gabungan yaitu afik atau imbuhan yang mengapit bentuk dasar dengan cara melekat secara bersama-sama yang membentuk satu fungsi dari satu arti. Untuk dapat mengetahui afiks-afiks bahasa Indonesia secara jelas, lihatlah korpus berikut.
Prefiks
Infiks
Sufiks
Konfiks
meN-
Ber-b
di-
peN-
pe-
per-
se-
ke-
ter-
a-
maha-
para
pra-
-el-
-er-
-em-
-kan
-an
-i
-nya
-wan
-man
-wati
-is
meN-kan
ber-an
ber-kan
se-nya
per-an
peN-an
di-kan
ke-an
meN-i
b) Macam Afiks Ditinjau dari Asalnya
Ditinjau dari asalnya, afiks bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu afiks asli dan afiks dari bahasa asing. Afiks asli ialah afiks-afiks yang emmang merupakan bentukan atau afik dari bahasa Indonesia itu sendiri, sedangkan afiks asing ialah afiks yang berasal atau hasil pungutan dari bahasa asing yang kini telah menjadi bagian sistem bahasa Indonesia.
Untuk menyatakan suatu afiks bahasa asing telah diterima menjadi afiks bahasa Indonesia, apabila afiks tersebut sudah mampu keluar dari lingkungan bahasa asing dan sanggup melekat pada bentuk dasar bahasa Indonesia. Ramlan (1983:52) memberikan gambaran afiks –in dan –at pada kata muslimin dan muslimat merupakan afiks bahasa Arab, belum dapat digolongkan ke dalam afiks bahasa Indonesia, meskipun di samping muslimin dan muslimat ada bentuk muslim. Namun demikian, kedua afiks tersebut belum mampu melekat pada bentuk dasar bahasa Indonesia lainnya. Kedua afiks tersebut hanya mampu melekat pada bentuk dasar bahasa Arab. Berbeda dengan afiks maha- yang berasal dari bahasa Sangsekerta misalnya, ia mampu melekatkan diri pada bentuk-bentuk dasar bahasa Indonesia seperti: murah, besar, adil, bijaksana, pengasih, pengampun, guru, siswa.
Afiks-afiks yang berasal dari bahasa asing dapat kita kelompokan: pra-, para-, -wan, -wati, -man, a-, -is, -nda/-da. Afiks-afiks sepeti: meN-, ber-, di-, peN-, pe-, per-, se-, ke-, ter-, -el-, -er-, -em-, -kan, -an, -i, -nya, meN-kan, meN-i, ber-an, ber-kan, se-nya, peN-an, per-an, di-kan, ke-an merupakan afiks-afiks asli bahasa Indonesia.
c) Macam Afiks Ditinjau dari Produktifitasnya
Jika kita perhatikan afiks-afiks yang telah yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, ada afiks terbatas sekali penggunaannya dan ada yang memiliki kemampuan melekat pada satuan lain yang lebih besar. Afiks –da, misalnya, hanya melekat secara terbatas pada bentuk-bentuk yang menyatakanmakna kekeluargaan, seperti: ayahanda, ibunda, pamanda, adinda, kakanda. Contoh lain afiks-afiks –el-, -er-, dan –em- hanya melekat pada bentuk-bentuk yang sudah ada, tidak mampu menghasilkan bentuk atau kata-kata baru. Di lain pihak seperti afiks meN-, secara distributive mampu menghasilkan kata-kata baru begitu produktif, seperti terlihat pada kata-kata, melayar, melebar, melangkah, menjadi, membengkak, membisu, menjawab, mencabik-cabik, mengangkat, mengangkut, menyanyi, menyapu, menyisir, menghunus, mengintai, mengebom, mengecat, mengetik, dan banyak lagi. Golongan afiks yang pertama disebut afiks yang improduktif, sedangkan golongan yang kedua afiks yang produktif.
Berdasarkan contoh di atas, dapatlah disimpulkan bahwa afiks improduktif ialah afiks yang tidak distributive, yang tidak memiliki kemampuan untuk melekatkan diri pada bentuk lain yang lebih banyak, terbatas pada satuan-satuan tertentu, sedangkan afiks produktif merupakan kebalikan afiks improduktif ialah afiks yang distributive yang besar kesanggupannya melekatkan diri pada morfem-morfem lain lebih banyak.
Ramlan (1983:55) menyatakan afiks-afiks pra-, a-, -el-, -er-, -em-, -is, -man, dan -wi merupakan afiks-afiks yang improduktif. Afiks-afiks yang tergolong produktif yaitu peN-, meN-, ber-, di-, ke-, ter-, per-, se-, maha-, para-, -kan, -an, -i, -wan, meN-kan, ber-kan, per-an, peN-an, di-kan, ke-an, ber-an, se-nya.
simulfiksasi
Simulfiksasi ialah penambahan prefiks dan sufiks, yaitu afiksasi yang ditambahkan pada awal dan akhir kata. Contoh:
PREFIKS
SUFIKS
KATA
SIMULFIKSASI
di-
-keun
alung
Dialungkeun’dilemparkan’
Ka-
-an
sehat
Kasehatan’kesehatan’
di-
-an
uyah
Diuyahan’diberi garam’
Pang-
-an
béas
Pangbéasan’tempt beras’

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berpikir ilmiah adalah kegiatan [akal] yang menggabungkan induksi dan deduksi.
Berpikir ilmiah bertujuaan memperoleh pengetahuan yang benar atau pengetahuan ilmiah.
Menurut KBBI, bahasa ilmiah ialah “Sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri”.
Fungsi bahasa dikelompokkan menjadi :
1. ekspresif
2. konatif
3. refresentasional
ciri-ciri bahasa ilmiah :
1. informatif
2. reproduktif
3. antiseptik
4. deskriptif
Kelemahan bahasa :
1. multifungsi
2. kata-kata mengandung makna atau arti yang tidak seluruhnya jelas dan eksak
3. bersifat sirkular
penyimpangan-penyimpangan bahasa :
1. kontaminasi
2. pleonasme
3. pemecahan gatra pasif
4. kesalahan karena pengaruh kalimat asal
5. bentuk kata yang tidak paralel
6. penyimpangan kata tugas
7. penyimpangan afiksasi
8. penanggalan afiks
9. simulfiksasi
3.2 Saran
Berpikir ilmiah, dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya yang lebih luas, bertujuan memperoleh pengetahuan yang benar atau pengetahuan ilmiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita manusia jelas memerlukan sarana atau alat berpikir ilmiah. Sarana ini bersifat niscaya, maka aktivitas keilmuan tidak akan maksimal tanpa sarana berpikir ilmiah tersebut.


[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 42.
[2] Ibid, h. 45.
[3] Ibid, h. 48-49.
[4] Ibid, h. 49. Syllogism (Inggris); sullogismos (Yunani) dari kata sullogizesthai = sun- ‘with’ + logizesthai ‘to reason, reasoning’ [menalar] (kamus digital Concise Oxford Dictionary).
[5] Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI] Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 940.
[6] Suriasumantri, op. cit., h. 45.
[7] Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 105.
[8] Ibid, h. 167-169.
[9] Ibid, h. 175.
[10] Webster’s New Collegiate Dictionary (U.S.A, 1981), h. 641, dikutip oleh A. Chaedar Alwasilah, Linguistik: Suatu Pengantar (Bandung: Angkasa, 1993).
[11] Tim Redaksi, KBBI Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 77.
[12] A. Chaedar Alwasilah, Linguistik: Suatu Pengantar (Bandung: Angkasa, 1993), h. 83-89.
[13] M.A.K. Halliday dan Ruqaya Hasan, Bahasa Konteks dan Teks, terjemahan oleh Asruddin Barori Tou (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1994), h. 21, dikutip oleh Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A., Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h. 182.
[14] George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education (New York: John Wiley, 1964), h. 28., dikutip oleh Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 75.
[15] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 169.
[16] Tim Redaksi, KBBI (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 1014.
[17] Charlton Laird, The Miracle of Language (New York: Fawcett, 1953), dikutip oleh Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 182.
[18] Alif Danya Munsyi, Bahasa Menunjukkan Bangsa (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2005), h. 196.
[19] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 75.
[20] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 173-184.
[21] Slamet Iman Santoso, “Fungsi Bahasa, Matematika dan Logika untuk Ketahanan Indonesia dalam Abad 20 di Jalan Raya Bangsa-bangsa” dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 227.
[22] Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 123.
[23] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 44.
[24] Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (eds.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung: Mizan, 1996), h. 17.
[25] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 182-187.
[26] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)



DAFTAR PUSTAKA
Sulyati, E. 2010. Pengembangan Kompetensi Bahasa Indonesia. Bandung : CV. INSAN MANDIRI.
Notulen Diskusi
Tanggal : 6 April 2011
Tempat : Ruang 14, kampus STMIK Sumedang
Pukul : 11.20 – 13.00 WIB
Tema : Bahasa Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah
Moderator : Reza Rizki
Panelis : Yogi Hermawan, Alifia Ponti Lestari, Tita Siti Martini
Peserta : Mahasiswa Manajemen Informatika(D3), semester 4(2011), STMIK Sunmedang
Jumlah :
Uraian Pelaksanaan Diskusi : Diskusi ini berjalan dengan lancar dan peserta juga terlihat begitu antusias dalam mengikutinya. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya pertanyaan dan tanggapan yang diberikan oleh peserta.
Pertanyaan Session I :
1. Apa yang dimaksud dengan induksi dan deduksi ? (Indra Permana).
2. Jelaskan ciri-ciri bahasa ilmiah! (Yuli Nurhayati).
3. Berikan contoh penyimpangan bahasa !(Munawar Kholil).
Pertanyaan Session II:
1. Asal muasal kata-kata seperti informatif, deskriptif, dan sebagainya (serapan dari daerah mana)! (Deni Gilang Pratama).
2. Berikan contoh dari kelemahan bahasa dan ciri-ciri bahasa ilmiah! (Reja Koswara).
Jawaban Pertanyaan Session I:
1. Induksi adalah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat umum ditarik dari pernyataan-pernyataan atau kasus yang bersifat khusus.
Deduksi ialah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat khusus ditarik dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum.
2. Ciri-ciri bahasa ilmiah :
a. Informatif, bahasa ilmiah mengungkapkan informasi atau pengetahuan yang dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari kesalahpahaman.
b. Reproduktif, pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya.
c. Antiseptik, bahasa ilmiah itu bersifat objektif dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari unsur informatif.
d. Deskriptif, bahasa ilmiah menjelaskan fakta dan pemikiran, dan pernyataan-pernyataan dalam bahasa ilmiah bisa diuji benar-salahnya.
e. Intersubjektif, ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para pemakainya.
3. Contoh penyimpangan bahasa :
a. Kontaminasi
- Kepada hadirin kami mempersilahkan berdiri.
- Di dalam bahasa Indonesia tidak mengenal konyugasi.
b. Pleonasme
- Ya Tuhan, ia sangat cantik sekali.
- Kita harus belajar dengan rajin agar supaya bisa lulus dengan lancar.
c. Pemecahan gatra pasif
- Semua berkas yang Saudara sekiranya perlukan kami akan bereskan untuk segera mengirimkannya.
d. Kesalahan karena pengaruh kalimat asal
- Kita sangat menyenangi kebijaksanaan itu.
e. Bentuk kata yang tidak paralel
- Sebelum berbicara, pahami dulu apa yang mau dibicarakan.
f. Penyimpangan kata tugas
- Pendapat Kamu adalah salah.
- Panelis itu berdiskusi mengenai Bahasa Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah.
g. Penyimpangan Afiksasi
- Menyelusuri >> menelusuri
- Menandatangani >> menandatangankan
h. Penanggalan Afiks
- Diskusi dari kelompok enam akan diundur dua hari lagi.
- Dia termasuk orang yang pandai bicara.
i. Simulfiksasi
- Nampak >> tampak
- Ngobrol >> mengobrol
Jawaban pertanyaan session II:
1. Pertanyaan yang diajukan tidak sesuai dengan tema diskusi. Untuk lebih jelasnya, jawaban tersebut dapat ditemui pada diskusi yang bertema “Kata Serapan atau Proses Adaptasi Bahasa Asing Ke Bahasa Indonesia”.
2. Contoh dari kelemahan bahasa :
a. Multifungsi (ekspresif, konatif, reprersentasional, informatif, deskriptif, simbolik, emotif, afektif).
b. Kata-kata mengandung makna atau arti yang tidak seluruhnya jelas atau eksak. Misalnya, kata “cinta” dipakai dalam lingkup yang luas dalam hubungan antara ibu-anak, ayah-anak, suami-istri, srpasang kekasih, sesama manusia, masyarakat-negara.
c. Bahasa acap kali bersifat sirkular (berputar-putar). Contoh, kata “pengelolaan” didefinisikan sebagai “kegiatan yang dilakukan dalam sebuah organisasi”, sedangkan “organisasi” didefinisikan sebagai “suatu bentuk kerja sama yang merupakan wadah dari kegiatan pengelolaan”.
Contoh ciri-ciri bahasa ilmiah :
a. Informatif >> buku enslikopedia, majalah.
b. Reproduktif >> makalah, koran./
c. Antiseptik >> KBBI
Kesimpulan :
· Berpikir ilmiah : kegiatan [akal] yang menggabungkan induksi dan deduksi.
· Berpikir ilmiah bertujuan memperoleh pengetahuan yang benar atau pengetahuan ilmiah.
· Menurut KBBI, Bahasa ilmiah ialah “sistem lambang bunyi yang artbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri”
· Fungsi bahasa dikelompokkan menjadi : ekspresif, konatif, representasional.
· Ciri-ciri bahasa ilmiah : informatif, reproduktif, antiseptik, deskriptif.
· Kelemahan bahasa : mutifungsi, kata-kata mengandung makna untuk arti yang tidak seluruhnya jelas dan eksak, bersifat sirkular.
· Penyimpangan-penyimpangan bahasa : kontaminasi, pleonasme, pemecahan gatra pasif, kesalahan karena pengaruh kalimat asal, bentuk kata yang tidak paralel, penyimpangan kata tugas, penyimpangan afiksasi, penanggalan afiks dan simulfiksasi.

No comments:

Post a Comment