Wednesday, April 4, 2012

Komponen Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah

 Komponen Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah


Pelaksanaan pembelajaran pada umumnya melibatkan beberapa komponen antara lain:
A.     Tujuan mata pelajaran sejarah
Di dalam GBPP dijelaskan bahwa Mata pelajaran Sejarah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1.    Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan  sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan
2.    Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah  dan metodologi keilmuan
3.    Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau
4.    Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang
5.    Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional.

B.     Materi sejarah
Materi sejarah adalah sebagai berikut :
  1. mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik;
  2. memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan;
  3. menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa;
  4. sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari;
  5. berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.

C.     Ruang Lingkup
Mata pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
  1. Prinsip dasar ilmu sejarah
  2. Peradaban awal masyarakat dunia dan Indonesia
  3. Perkembangan negara-negara tradisional di Indonesia
  4. Indonesia pada masa penjajahan
  5. Pergerakan kebangsaan
  6. Proklamasi dan perkembangan negara kebangsaan Indonesia.

D.     Siswa
Sebagai subjek utama pendidikan, siswa memegang peran yang sangat penting dan strategis. Siswa yang belajar sejarah diharapkan memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan tujuan di atas.
Dengan demikian mereka akan menjadi sosok yang unik dan luhur dalam penampilan, bicara, pergaulan, ibadah, hak dan tanggung jawab, pola hidup, kepribadian, watak, semangat, dan cita-cita serta aktivitas.

E.     Guru
Guru agama sebagai pengemban amanah pembelajaran sejarah haruslah orang yang memiliki pribadi prosefesional. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena dialah figure siswa.

F.      Metode
Proses belajar mengajar merupakan interaksi yang dilakukan guru dengan peserta didik. Berbagai pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran sejarah harus dijabarkan dalam metode yang bersifat prosedural. Metode diartikan sebagai rencana menyeluruh tentang penyajian materi ajar secara sistematis dan berdasarkan pendekatan yang ditentukan.[1]
Metode apapun yang digunakan oleh pendidik dalam proses pembelajaran, yang perlu diperhatikan adalah akomodasi menyeluruh terhadap prinsip-prinsip Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Pertama, berpusat kepada anak didik (student oriented). Kedua, belajar dengan melakukan (learning by doing) artinya guru harus menyediakan kesempatan kepada anak didik untuk melakukan apa yang dipelajarinya, sehingga memperoleh pengalaman nyata. Ketiga, mengembangkan kemampuan sosial artinya proses pembelajaran dan pendidikan selain sebagai wahana untuk memperoleh pengetahuan, juga sebagai sarana untuk berinteraksi sosial. Keempat, mengembangkan keingintahuan dan imajinasi, artinya bahwa proses pembelajaran harus dapat memancing rasa ingin tahu (curiosity), dan memompa daya imajinatif anak untuk berpikir kritis dan kreatif. Kelima, mengembangkan kreatifitas dan ketrampilan memecahkan masalah artinya bahwa guru harus merangsang kreatifitas dan
kemampuan anak untuk menemukan jawaban terhadap problem yang mereka hadapi.

G.    Media
Media dapat diartikan sebagai alat bantu yang diterapkan dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan secara optimal.[2] Dalam hal ini, alat bantu yang digunakan oleh guru sejarah dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Sebagaimana yang dirumuskan oleh Raharjo bahwa media:[3]
1) Sebagai wadah dari pesan yang oleh sumbernya akan diteruskan pada sasaran pesan tersebut.
2) Materi yang ingin disampaikan adalah pesan pengajaran, dan tujuan yang ingin dicapai adalah terjadinya proses belajar.
Dengan demikian media merupakan sesuatu yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada dirinya. Karena penggunaan media secara kreatif oleh pendidik akan meningkatkan performance mereka sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Adapun fungsi media antara lain:
1) Penyaji stimulus, informasi, sikap dan lain-lain
2) Meningkatkan keserasian dalam penerimaan informasi
3) Mengatur langkah-langkah kemajuan serta memberikan umpan balik dan sebagainya.
Agar tujuan yang hendak dicapai dan penggunaan media berfungsi, seorang pendidik harus cerdas memilih media yang tepat untuk dipakai dalam pembelajaran. Untuk itu pendidik perlu memperhatikan urgensi media:
1) Mengatasi keterbatasan pengalaman siswa
2) Mengatasi keterbatasan ruang kelas
3) Memungkinkan adanya interaksi langsung antara siswa dengan lingkungannya
4) Menghasilkan keseragaman pengamatan
5) Menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit dan realistis
6) Membangkitkan keinginan dan minat yang baru
7) Membangkitkan motivasi dan merangsang siswa untuk belajar
8) Memberikan pengalaman yang integral dari suatu yang konkrit sampai kepada yang abstrak.[4]

H.    Strategi
Dalam konteks pendidikan, strategi merupakan kebijakankebijakan yang mendasar dalam pengembangan pendidikan sehingga tercapai tujuan pendidikan secara lebih terarah, lebih efektif dan efisien.[5] Dalam aplikasi pembelajaran, strategi merupakan langkahlangkah atau tindakan-tindakan yang mendasar dalam proses belajar mengajar untuk mencapai sasaran pendidikan maupun tujuan pembelajaran itu sendiri.
            Menurut Newman dan Logan yang dikutip oleh Djamaludin Darwis, strategi merupakan dasar setiap usaha meliputi:
1) Pengidentifikasian dan penetapan spesifikasi dari kualifikasi tujuan yang akan dicapai dengan memperhatikan dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat yang memerlukan
2) Pertimbangan dan pemilihan cara atau pendekatan utama yang dianggap ampuh untuk menempuh sasaran
3) Pertimbangan dan pengetahuan langkah-langkah yang ditempuh sejak titik awal pelaksanaan sampai titik akhir pencapaian sasaran
4) Pertimbangan dan penetapan tolok ukur untuk mengukur taraf keberhasilan sesuai dengan tujuan yang dijadikan sasaran.[6]

I.       Evaluasi
Makna evaluasi pada dasarnya adalah memberikan pertimbangan atau harga nilai berdasarkan nilai tertentu untuk mendapatkan evaluasi yang meyakinkan dan objektif dimulai dari informasi-informasi kuantitatif dan kualitatif. Dengan demikian evaluasi adalah suatu tindakan berdasarkan pertimbangan yang arif dan bijaksana untuk menentukan nilai sesuatu, baik secara kuantitatif dan kualitatif.[7] Atau bisa diartikan sebagai penetapan baik-buruk, memadai-kurang memadai, terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu yang disepakati sebelumnya dan dapat dipertanggungjawabkan.
Davies, sebagaimana dikutip oleh Dimyati dan Mujiono mengemukakan bahwa evaluasi merupakan proses sederhana dengan memberikan/menetapkan nilai kepada sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk-kerja, proses, objek, dan sebagainya.[8] Jika demikian evaluasi bisa diartikan sebagai proses sistematis untuk menentukan nilai sesuatu (tujuan, kegiatan,  keputusan, unjuk-kerja, proses, orang, objek, dan lain-lain) berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian.
            Penilaian menjadi salah satu sarana evaluasi pendidikan, dan penilaian itu sendiri bisa diwujudkan dalam bentuk tes tertulis, meskipun tidak harus berupa tes tertulis. Dan tes yang dilakukan tidak sekedar mengukur kecerdasan kognitif peserta didik tetapi perlu juga memperhatikan kecerdasan afektif dan psikomotorik siswa sehingga penilaian yang dilakukan tersebut benar-benar menghargai bermacam-macam potensi yang dimiliki siswa.
Meskipun demikian, realita yang berlaku di dunia pendidikan Indonesia, evaluasi kerap kali dilakukan dengan tes yang hanya mengukur tingkat kecerdasan kognitif peserta didik saja, tanpa memperhatikan jenis kecerdasan lain yang sebenarnya dimiliki peserta didik namun tidak dihargai sebagai sebuah kelebihan (point) dalam hal tertentu oleh pendidik-yang sebenarnya juga menunjang prestasi di bidang tertentu-. Padahal tujuan dari evaluasi itu untuk memperbaiki cara belajar, mengadakan perbaikan dan pengayaan bagi siswa, serta menempatkan siswa pada situasi pembelajaran (belajar-mengajar) yang lebih tepat sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimilikinya. Atau untuk memperbaiki atau mendalami dan memperluas pelajaran, dan terakhir kali sebagai informasi kepada orang tua.
Dalam konteks pembelajaran ini, jenis evaluasi yang akan penulis sampaikan terbatas pada evaluasi yang bersifat proses yaitu evaluasi pembelajaran dan evaluasi hasil pembelajaran:
1) Evaluasi pembelajaran merupakan suatu proses untuk menentukan jasa, nilai atau manfaat kegiatan pembelajaran melalui kegiatan penilaian dan evaluasi hasil pembelajaran.
2) Evaluasi hasil belajar, merupakan proses untuk menentukan nilai belajar siswa melalui kegiatan penilaian dan atau pengukuran hasil belajar.
Namun demikian, tidak semua lembaga pendidikan, dalam hal ini sekolah, melakukan evaluasi yang seragam. Terlebih sekolahsekolah otonom, mereka memiliki cara dan teknik mengevaluasi tersendiri. Dan memang sudah saatnya seharusnya setiap sekolah mengadakan evaluasi sesuai dengan kemampuan sekolah tersebut.
Senada dengan belajar kelompok, metode diskusi dapat diterapkan dalam materi aspek sosiologi, PPKN, dll. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam metode diskusi kelompok adalah:

1) Persiapan perencanaan diskusi
• Tujuan diskusi harus jelas
• Peserta diskusi harus memenuhi persyaratan tertentu, dan jumlahnya disesuaikan dengan sifat diskusi itu sendiri
• Penentuan dan perumusan masalah yang akan didiskusikan harus jelas
• Waktu dan tempat diskusi harus jelas
2) Pelaksanaan diskusi
• Membuat struktur kelompok
• Membagi tugas dalam diskusi
• Merangsang seluruh peserta untuk berpartisipasi
• Mencatat ide-ide atau saran penting
• Menghargai setiap pendapat yang diajukan peserta
• Menciptakan situasi yang menyenangkan
3) Tindak lanjut diskusi
• Membuat kesimpulan/laporan diskusi
• Membacakan kembali hasilnya untuk diadakan koreksi seperlunya
• Membuat penilaian terhadap pelaksanaan diskusi tersebut untuk dijadikan bahan pertimbangan dan perbaikan pada diskusi yang akan datang.[8]
c. Metode tutor sebaya
Anita Lie mendefinisikan tutor sebaya sebagai peer teaching yakni, pengajaran yang dilakukan oleh rekan sebayanya.[9] Menurutnya hal ini lebih efektif daripada pengajaran oleh guru karena latar belakang pengetahuan dan pengalaman atau yang dikenal dengan istilah skemata dalam bidang pendidikan, skemata mereka satu sama lain lebih mirip dibandingkan dengan skemata yang dimiliki oleh guru. Peer teaching menggunakan siswa sebagai guru. Dasar pemikiran tentang tutor sebaya adalah siswa yang pandai dapat memberikan bantuan kepada siswa yang kurang pandai. [10]
Metode ini dapat diterapkan dalam materi PPKN dengan mengajarkan sesama siswa keteladanan  pahlawan maupun ketika siswa mempelajari ibadah praktek, misal tata cara wudlu dan sholat.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1) Persiapan
• Merumuskan topik dan tujuan
• Membagi kelas dalam kelompok-kelompok dimana setiap kelompoknya ada satu siswa yang berfungsi sebagai tutor.
2) Pelaksanaan
• Guru memberikan penjelasan umum tentang topik yang akan dibahas
• Siswa belajar dari rekannya dalam kelompok dan jika mempunyai kesulitan dapat bertanya pada guru.
• Guru selalu memantau proses tutor sebaya dalam kelompok siswa
3) Penyelesaian
• Evaluasi bisa dilakukan oleh tutor maupun guru, jika dilakukan oleh tutor maka guru harus memberikan standar nilai yang jelas.[11]
d. Metode Jigsaw
Metode ini dikembangkan oleh Elliot Aranson, kemudian diadaptasi oleh Slavin.[12] Teknik ini serupa dengan pertukaran antar kelompok, bedanya setiap siswa mengajarkan sesuatu. Ini merupakan alternatif menarik bila ada materi belajar yang bisa disegmentasikan.
Tiap siswa mempelajari setiap bagian yang bila digabungkan akan membentuk pengetahuan yang padu.[13]
Metode ini dapat digunakan ketika guru menyampaikan materi sejarah, Akhlaq, PPKN, Fiqh, maupun Alqur’an Hadist dimana materi-materi tersebut bisa disegmentasikan untuk dipelajari masing-masing siswa yang nantinya akan dibahas dalam kelompok.
Langkah-langkah pelaksanaannya sebagai berikut:
1) Persiapan
• Guru memilih materi yang bisa dipecah atau disegmentasikan dalam beberapa bagian.
• Menjelaskan sistem belajar yang akan dipakai
• Membentuk home teams sebagai kelompok asal
• Membentuk expert teams yang terdiri dari anggota-anggota kelompok yang mempelajari segmen yang sama dalam home teams masing-masing.
2) Pelaksanaan
• Setelah siswa terbagi dalam beberapa kelompok, tiap segmen materi diberikan pada siswa dalam home teams.
• Guru menginstruksikan siswa untuk mempelajari “bagian”nya secara mendalam dengan expert teams, yakni siswa yang mempelajari segmen yang sama.
• Guru selalu memantau proses belajar siswa dalam tiap kelompok ahli sebagai bahan evaluasi bagi proses kelompok dalam kelas maupun untuk mengetahui sejauh mana keaktifan siswa.
• Setelah proses belajar dalam expert teams usai, masing-masing siswa kembali ke kelompoknya masing-masing untuk mengajarkan apa yang telah didapat dari hasil belajar bersama anggota expert teams. Di dalam home teams siswa saling belajar dari rekannya mengenai segmen materi yang berbedabeda.
• Guru berfungsi sebagai fasilitator yang selalu mengawasi dan mengarahkan transisi kelompok agar suasana kelas tetap terkendali
3) Penyelesaian
Guru memberikan evaluasi terhadap proses kelompok dan juga pemahaman mereka terhadap materi.[14]
Langkah-langkah penerapan metode-metode dalam model CL tersebut harusnya menjadi pedoman bagi guru untuk menerapkan model Cooperative Learning dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi siswa maupun lingkungan yang mendukung diterapkannya model tersebut.


[1] Belajar kelompok bisa juga disebut belajar bersama (learning together) merupakan kumpulan beberapa orang dengan variasi kemampuan yang berbeda (mixed abilities group) yang saling belajar, saling berbagi pendapat dan saling membantu dengan kewajiban setiap anggota harus benar-benar memahami jawaban atau penyelesaian tugas yang diberikan kepada kelompok tersebut. Pertanyaan atau permintaan bantuan kepada guru dilakukan hanya jika mereka sudah benar-benar kehabisan akal. Yang dianggap juga penting dalam model ini adalah adanya saling ketergantungan dalam arti positif, adanya interaksi tatap muka di antara anggota, keterlibatan anggota sangatlah diperhitungkan, dan selain menggunakan ketrampilan pribadi juga mengembangkan ketrampilan kelompok. Lihat Krismanto, Belajar secara Kooperatif sebagai Pembelajaran Aktif, (Yogyakarta: PPG Matematika, 2000), hlm 18
[2] Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi Belajar Mengajar (Bandung: Tarsito, 2003), hlm. 116
[3] Bimo Walgito, op. cit., hlm. 103
[4] Nana Sudjana, CBSA dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru, 1989), hlm 87-89
[5] Robert E. Slavin, op.cit., hlm. 130
[6] Arief Armei, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 145
[7] Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching, (Jakarta: Quantum
Teaching, 2005), hlm. 57
[8] Ibid, hlm. 58-59
[9] Anita Lie, op.cit., hlm. 31
[10] Conny Semiawan, Pendekatan Ketrampilan Proses, (Jakarta: Gramedia, 1990), cet. VI, hlm. 70
[11] Ibid
[12] Nurhadi, op.cit., hlm. 117, bisa juga dilihat dalam Slavin, op.cit., hlm. 122
[13] Melvin L. Silberman, op.cit.,
[14] John Holt, “Jigsaw: Tips On Implementation”, http://www.jigsaw.org/tips.htm., On line 5 maret 2006

No comments:

Post a Comment