Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten
Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten
PENDAHULUAN
Masyarakat
Islam Banten, dalam tradisi keislaman di Indonesia pada masa lalu,
dikenal lebih sadar-diri dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa.
Perbandingan itu mungkin juga berlaku terhadap kebanyakan wilayah di
Nusantara. Beberapa hasil observasi menunjukkan kebenaran reputasi ini.
[1] Demikian ungkap Martin van Bruinessen. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa Islam sangat berpengaruh dalam pembentukan dan
perkembangan masyarakat Banten. Pada awalnya Banten merupakan salah satu
kerajaan Islam di Nusantara, setelah memisahkan diri dari kerajaan
Hindu Padjadjaran pada paruh pertama abad ke-16. Karena daerahnya yang
strategis, berada pada jalur pelayaran dan perdagangan Nusantara bahkan
internasional dan kesuburan tanahnya, Banten berhasil mengalahkan negara
induknya bahkan dapat menguasai sebagian wilayah kekuasaan Padjadjaran
pada pertengahan abad ke-16. [2]
Sebagian besar penduduk Banten
berketurunan orang Jawa dan Cirebon. Dalam perjalanan waktu, penduduk
ini berbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung.
Perbauran yang begitu dalam menyebabkan penduduk Banten memiliki
perbedaan-perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat dengan masyarakat
asalnya. Begitu pula dalam hal penampilan fisik dan watak, orang Banten
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda, orang Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Di antara unsur-unsur yang membentuk kebudayaan mereka
hampir tak terdapat ciri-ciri peradaban Hindu-Jawa. Karena Islam
mengalami penetrasi yang sangat dalam pada masyarakat Banten.
Di
Banten yang pernah menjadi pusat kerajaan Islam dan penduduknya yang
terkenal sangat taat terhadap agama, sudah sewajarnya kyai menempati
kedudukan yang signifikan dalam masyarakat. Kyai yang merupakan gelar
ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak hanya dipandang sebagai
tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin masyarakat. Kekuasaannya
seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal, terutama di pedesaan. [3]
Pengaruh kyai melewati batas-batas geografis pedesaan berdasarkan
legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan
menginterpretasi doktrin-doktrin agama. Selain itu, seorang kyai
dipandang memiliki kekuatan-kekuatan spiritual karena kedekatannya
dengan Sang Pencipta. Kyai dikenal tidak hanya sebagai guru di
pesantren, juga sebagai guru spiritual dan pemimpin kharismatik
masyarakat. Penampilan kyai yang khas merupakan simbol-simbol kesalehan.
Misalnya, bertutur kata lembut, berperilaku sopan, berpakaian rapih dan
sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah. Karena
itu, perilaku dan ucapan seorang kyai menjadi panduan masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari.
Kedududukan dan perannya yang sangat
strategis tersebut, menjadikan seorang kyai tidak hanya tinggal diam di
pesantren yang ia pimpin, tetapi juga hidup di tengah-tengah masyarakat
luas. Ia memiliki jaringan komunikasi yang sangat luas dengan berbagai
lapisan masyarakat. Jaringan itu terbentuk melalui organisasi-organisasi
keagamaan dan masyarakat, partai politik, guru-murid dan tarekat.
Di
samping kyai, Jawara merupakan kelompok lain yang juga menembus
batas-batas hirarki pedesaan di Banten. [4] Jawara dikenal sebagai
seorang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk
memanipulasi kekuatan supranatural (magic), seperti penggunaan jimat,
sehingga ia disegani oleh masyarakat. Sosok seorang jawara memiliki
karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan
kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap
persoalan. Karena itu, bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang
sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata
yang keras dan terkesan sombong), terbuka (blak-blakan) dengan
bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik
dan supranatural. [5]
Kepala jawara memiliki padepokan sebagai
tempat pengemblengan “anak buah”. Para jawara pun memiliki jaringan yang
melewati batas-batas geografis daerah tempat tinggalnya. Bahkan, mereka
memiliki organisasi tersendiri, seperti Persatuan Pendekar Persilatan
dan Seni Budaya Banten yang dipimpin oleh Tb Chasan Shohib; dan Tjimande
Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir yang dipimpin oleh Maman Rizal.
Dengan
demikian, entitas kyai dan jawara dalam masyarakat Banten memiliki
pengaruh yang melewati batas-batas geografis karena kharisma yang
dimilikinya. Bagi peneliti, dua entitas tersebut merupakan fenomena yang
menarik. Karenanya, sebagai permasalahan utama peneliti memunculkan
pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Bagaimana kedudukan dan peran kyai
dan jawara dalam budaya masyarakat Banten? Bagaimana jaringan kyai dan
jawara di Banten dapat terbentuk? Bagaimana sifat dan karakteristik
jaringan itu? Dan bagaimana hubungan kyai dengan jawara?
*****
Untuk
menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, peneliti menggunakan tiga
pendekatan, yaitu: etnografis, historis dan teologis. Metode yang
dipergunakan adalah pengamatan terlibat (participant observation) dan
wawancara mendalam (indepth interview), untuk mengungkap unsur-unsur
kebudayaan yang terdapat dalam interaksi sosial dan simbol-simbol yang
dipergunakan oleh kyai dan jawara.
Setelah melakukan eksplorasi
literatur tentang permasalahan itu, sebagai acuan dalam membahas
permasalahan, peneliti menggunakan teori bahwa subkultural ini bukan
hanya sekedar sekelompok orang yang menempati wilayah tertentu, tetapi
ia sangat komplek. Ia memiliki simbol, makna dan pengetahuan. Ia
merupakan sistem norma, nilai, kepentingan atau perilaku yang membedakan
antara individu, kelompok atau kesatuan dengan masyarakat yang lebih
besar di mana mereka juga ikut berpartisipasi di dalamnya. [6] Teori ini
menempatkan bahwa kyai dan jawara adalah subkultur, yang memiliki nilai
dan norma tersendiri, namun tetap tidak terpisah dari kultur masyarakat
Banten secara keseluruhan.
Pandangan tersebut sangat
mempengaruhi, bahkan seringkali menentukan, keberadaan subkultur.
Kecurigaan, ketidakpercayaan dan ketakutan terhadap hal-hal yang tidak
diketahui atau hal-hal yang menyimpang dapat mengakibatkan penolakan
oleh masyarakat dominan. Sebuah lingkaran interaksi dapat menggerakkan
mereka yang didefenisikan berbeda atau menyimpang untuk berpikiran dan
berperilaku seperti yang dituduhkannya itu, sehingga mereka yang
“dituduh” itu berupaya untuk semakin banyak mengambil sumber-sumber
mereka sendiri, mengangkat nilai-nilai, keyakinan, peran dan sistem
status milik mereka sendiri. [7]
Banten dan Tradisi Islam
Banten
terletak di bagian Barat pulau Jawa yang melingkupi daerah kabupaten
Lebak, Pandeglang, Serang, Cilegon dan Tangerang. Di sebelah Utara
terdapat laut Jawa dan sebelah Barat terdapat selat Sunda. Sebelah
Selatan terletak Samudera Indonesia dan sebelah Timur terbentang dari
Cisadane sampai Pelabuhan Ratu. Pulau-pulau di sekitarnya yang masih
termasuk wilayah Banten adalah: pulau Panaitan, pulau Rakata, pulau
Sertung, pulau Panjang, pulau Dua, pulau Deli dan Pulau Tinjil. Kini
jumlah penduduk Banten sekitar 8.098.277 orang dengan komposisi 95,89 %
beragama Islam, 1, 03 % beragama Katolik, 1, 59 % beragama Protestan,
0,22 % beragama Hindu, 1,15 % beragama Budha. Sisanya memeluk agama
lokal (sunda wiwitan), yakni orang-orang Baduy. [8]
Sejarah Islam
di Banten tidak sekedar soal konversi saja, tetapi juga mengenai
pengaruh Islam sebagai agama resmi kesultanan, sehingga mengakibatkan
hancurnya banyak kebudayaan Hindu-Budha yang pernah ada dan sebagai
ideologi perjuangan untuk melawan pemerintah kolonial. Yang terakhir
inilah mungkin, tanpa mengesampingkan adanya ulama Banten yang menekuni
bidang intelektual seperti Syekh Nawawi al-Bantani, yang menyebabkan
penyebaran Islam di Banten dalam bidang intelektual tidak begitu
menonjol. [9] Para tokoh agama, kyai termasuk di dalamnya, lebih sibuk
mengurusi soal bagaimana mengadakan perlawanan terhadap pemerintah
kolonial. Hal demikian menimbulkan kesan bahwa sentimen keislaman di
Banten sangat kental, meskipun dalam pemahaman keislaman tidak begitu
mendalam. Hal seperti ini juga dapat terlihat dalam perilaku para
jawara.
Sejarah masuknya Islam di Banten masih sangat kabur. Para
sarjana mengakui adanya problem yang signifikan berkaitan dengan asal
usul penyebaran Islam di Banten, yang mungkin tidak akan pernah
terungkap secara utuh karena kurangnya sumber-sumber sejarah yang bisa
dipercaya yang mencatat periode kontak dan konversi tersebut. Diakui
memang sudah ada kalangan muslim, terutama para pedagang dari Arab dan
India, yang singgah di pelabuhan Banten. Para pedagang tersebut yang
kemudian membawa para guru agama (muballigh) setelah mereka mendirikan
komunitas-komunitas yang permanen di Banten. Dengan demikian, jalinan
antara perdagangan dan konversi sangatlah erat, meskipun tidak secara
langsung. Kendati jalur perdagangan yang pertama membawa Islam ke
Banten, akan tetapi para sufi, ulama dan tentunya para Sultan Banten
memiliki peran penting dalam menyebaran Islam di seluruh wilayah Banten.
[10]
Dalam kesultanan Banten, para sultan bukan saja pemimpin
politik tetapi juga pemimpin agama. Dalam kesultanan Banten politik dan
agama memiliki kaitan yang erat. Tidak ada pemisahan yang tegas antara
permasalahan agama dan permasalahan politik. Kekuasaan dan agama dalam
kesultanan Banten saling menguatkan bukan bersaing. Islam menyebar ke
seluruh wilayah Banten tidak lepas dari pengaruh kekuasaan kesultanan
Banten. Demikian pula kekuasaan kesultanan Banten mendapat legitimasi
kuat dari agama Islam. Sebagai simbol kaitan yang erat antara kekuasaan
dan keagamaan dapat dilihat dari letak keraton Surosowan yang
berdampingan dengan mesjid Agung Banten. Dalam negara tradisional,
keraton merupakan simbol dari kekuasaan yang bersifat duniawi, sedangkan
mesjid merupakan simbol keagamaan yang bersifat keakhiratan [11] .
Para
Sultan Banten selain dikenal sebagai orang religius juga ahli agama.
Bahkan Sultan Ke-3, Maulana Muhammad banyak menulis kitab-kitab tentang
agama Islam yang kemudian dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Ia pun sering menjadi imam dan khotib pada sholat Jum’at dan hari-hari
raya. Demikian pula Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad. Ia sering memberikan
pengajaran tentang agama Islam kepada para bawahan dan keluarganya. Ia
pun dikisahkan banyak menulis buku agama, salah satu karyanya, Insân
Kâmil, yang kemudian diambil oleh Snouck Hurgronye. [12]
Sebagai
simbol bahwa para Sultan Banten tidak hanya pemimpin politik tetapi juga
pemimpin agama, mereka memakai gelar keagamaan, maulana atau sultan, di
depan nama mereka. Maulana yang merupakan gelar yang dipakai oleh
seseorang yang telah mencapai derajat wali, sedangkan sultan merupakan
gelar yang diberikan oleh para ulama di Mekkah kepada penguasa Banten
sebagai pengakuan akan kepemimpinannya terhadap orang-orang muslim
seperti, pendiri dan penguasa kesultanan Banten, Pangeran Sedakinking,
bergelar Maulana Hasanuddin. [13]
Runtuhnya kesultanan Banten dan
semakin memudarnya peran agama dalam sistem politik pemerintahan
kolonial, telah mengalihkan loyalitas masyarakat ke para pemimpin agama
yang selama ini bersifat independen, yakni para kyai. Para kyai
memandang hina kekuasaan pemerintah kolonial karena mereka dipandang
sebagai orang-orang kafir yang telah merebut kekuasaan orang-orang
muslim dan dengan demikian mesti diperangi. Ide-ide keagamaan itu
memasuki hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Pandangan ini
mempunyai pengarauh signifikan di Banten yang penduduknya saat taat
kepada agama.
Pada masyarakat yang religius, tingkat keberagamaan
setiap orang diukur dari segi kesalehannya, pengetahuannya atau
keanggotannya dalam satu lembaga keagamaan seperti tarekat. Oleh karena
itu, pada masa-masa ini para kyai atau pemimpin tarekat lebih dihormati
daripada pamongpraja atau birokrat yang bekerja pada pemerintah
kolonial. Karena itu, rakyat tidak memberikan dukungan politik kepada
para bupati dan pamongraja, karena mereka dipandang telah bekerja pada
pemerintahan yang kafir, sehingga derajat sosio-religius mereka pun
dipandang rendah. [14]
Dengan kedudukan seperti itu, para kyai
memainkan peran penting dalam melakukan pemberontakan-pemberontakan
terhadap pemerintah kolonial, yang mendapat dukungan penuh dari rakyat
dan dan elit-elit sosial lainnya, seperti para bangsawan dan para
jawara. Semenjak runtuhnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah
pemberontakan yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh-tokoh agama.
Seperti, pemberontakan di Pandeglang tahun 1811 yang dipimpin oleh Mas
Jakaria, peristiwa Cikande Udik tahun 1845, pemberontakan Wakhia tahun
1850, peristiwa Usup tahun 1851, peristiwa Pungut tahun 1862, kasus
Kolelet tahun 1866, kasus Jayakusuma tahun 1868 dan yang paling terkenal
adalah Geger Cilegon tahun 1888 yang dipimpin oleh Ki Wasid.
Kedudukan & Peran Kyai dan Jawara
Kyai
dan jawara merupakan sub-kelompok masyarakat yang memainkan peran
penting di Banten hingga saat ini. Meskipun peran dan kedudukan
tradisional mereka terus digerogoti arus modernisasi yang semakin
hegemonik. Desakan modernisasi telah merubah tata kehidupan dan
moralitas masyarakat Banten, sehingga dampaknya tidak hanya berpengaruh
pada pendapatan dan produksi, tetapi juga pada perubahan identitas,
aspirasi dan otoritas. [15] Namun demikian, perubahan-perubahan tersebut
tidak sampai menghancurkan semua kedudukan dan peran sosial mereka
secara menyeluruh. Kyai sampai kini tetap merupakan salah satu orang
yang dihormati oleh masyarakat. Di samping tokoh-tokoh lain, seperti
tokoh politik para pejabat pemerintah dan pengusaha.
Demikian
pula jawara, selain berusaha untuk tampil lebih ramah sehingga bisa
diterima masyarakat, mereka kini tidak hanya memainkan peran tradisional
mereka, tetapi juga merambah pada sektor-sektor ekonomi dan politik di
Banten. Apalagi setelah Banten menjadi sebuah propinsi yang mandiri,
lepas dari wilayah Jawa Barat, peran jawara dalam percaturan bidang
politik dan ekonomi memainkan peran yang sangat besar.
Kyai dan Jawara sebagai Elit Sosial
Pada
masyarakat yang sangat kental nuansa keagamaan, seperti Banten, peran
tokoh agama sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
kyai di Banten memiliki status sosial yang dihormati oleh masyarakat.
Kehidupan masyarakat religius didasarkan kepada suatu kesakralan, Tuhan
atau Allah, sehingga ketertiban sosial pun dipandang memiliki hubungan
yang erat dengan kekuasaan di atasnya. Karena itu mereka memiliki
ketergantungan terhadap tokoh-tokoh agama dalam memandu kehidupan yang
penuh ketidakpastian ini. [16]
Jawara pada masa-masa sulit banyak
membantu peran para kyai terutama berkaitan dengan persoalan keamanan
dan ketertiban masyarakat. Namun, terkadang mereka justru banyak
merugikan masyarakat. Seperti kisah ketokohan Ce Mamat alias Muhamad
Mansur yang mendirikan Dewan Rakyat. Anggota Dewan Rakyat yang
anggotanya kebanyakan dari para jawara, mengadakan serangkaian kerusuhan
sosial dan pembunuhan di berbagai tempat di wilayah Banten. Sehingga
K.H. Ahmad Khatib memerintahkan K.H. Syam’un untuk menangkap Ce Mamat
dan menumpas gerombolannya.
Peran Sosial Kyai
Peran
kyai dalam masyarakaat Banten pada masa kini tidak sepenting masa-masa
yang lalu. Arus modernisasi yang banyak mengagungkan kepada materi dan
menuntut profesionalisme dalam segala bidang, telah menempatkan kyai
hanya pada peran-peran yang berkaitan langsung dengan masalah keagamaan.
Sudah tidak banyak kyai yang memiliki peran yang menentukan di luar
masalah keagamaan, seperti pada masa kolonialisme atau pada masa awal
kemerdekaan RI dan zaman revolusi fisik tahun 1945-1950.
Berdasarkan
perannya, kyai di Banten sering dibedakan menjadi “kyai kitab” dan
“kyai hikmah.” [17] Kyai kitab ditujukan kepada kyai atau guru yang
banyak mengajarkan ilmu-ilmu tekstual Islam, khususnya yang dikenal
dengan kitab kuning. Seperti kitab-kitab tafsir al-Qur’an, kitab-kitab
Hadits, kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, kitab-kitab akidah akhlak serta
kitab-kitab gramatika Bahasa Arab. Sedangkan, “kyai hikmah” adalah para
kyai yang mempraktekkan ilmu magis Islam. Yakni yang mengajarkan wirîd,
zikr dan râtib, untuk keperluan praktis, seperti permainan debus,
pengobatan, kesaktian dan kewibawaan. Meskipun demikian, pembedaan
tersebut pada praktiknya tidak memisahkan secara tegas. Banyak kyai yang
mengkombinasikan kedua peran tersebut dengan campuran yang
berbeda-beda.
Peran-peran sosial keagamaan kyai di Banten dapat dirincikan dengan beberapa bagian, yaitu:
a. Guru Ngaji
Peran
kyai yang paling awal adalah mengajarkan pembacaan al-Qur’an dengan
baik kepada para santrinya. Tugas kyai dalam hal ini adalah mengajarkan
pembacaan huruf-huruf hijâiyyah dan kaidah-kaidah pembacaan al-Qur’an
yang benar, yang dikenal dengal ‘ilm tajwîd. Dalam tahapan yang lebih
maju kyai mengajarkan tentang beberapa metode pembacaan ayat-ayat
al-Qur’an dengan suara indah, yakni untuk para qâri dan qâriah yang
memiliki bakat suara yang baik. Selain itu juga para qâri dan qâriah
diajarkan aliran-aliran atau madzhab-madzhab pembacaan ayat-ayat
al-Qur’an.
Sekarang ini, peran guru ngaji tidak hanya dilakukan
oleh seorang kyai yang memiliki pesantren, tetapi juga oleh para santri,
yang biasanya dipanggil ustâdz, yang pernah mengeyam pendidikan
pesantren dan memiliki kemampuan membaca al-Qur’an dengan baik sesuai
dengan kaidah-kaidah pembacaannya dalam ‘lmu tajwîd. Pelaksanaan
pengajarannya biasanya diselenggarakan di rumah ustâdz atau di mushola
yang terdekat dengan kediamannya. Pengajaran al-Qur’an dilakukan pada
waktu-waktu selesai sholat lima waktu, seperti: setelah sholat magrib,
subuh dan ashar. Para pesertanya biasanya anak-anak dan kaum remaja di
sekitar kediaman ustâdz tersebut.
b. Guru Kitab
Seorang
santri yang telah lancar membaca ayat-ayat al-Qur’an, mulai berkenalan
dengan kitab-kitab Islam klasik. Memang tugas utama seorang kyai di
pesantren adalah mengajarkan kitab-kitab Islam klasik, terutama
karangan-karangan ulama fiqh yang bermadzhab Syafi’i. Pengajaran membaca
al-Qur’an, meskipun dilaksanakan di pesantren-pesantren, yang biasanya
masih kecil dan belum terkenal, sebagai dasar dari suatu proses
pendidikan, bukan tujuan utama sistem pendidikan pesantren. Tujuan
utamanya adalah setiap santri diharapkan memiliki kemampuan dalam
memahami kitab-kitab Islam klasik, yang dikenal dengan kitab kuning.
Kemashuran
seorang kyai dan pesantren ditentukan dari kemampuannya dalam memahami
isi dan memberikan pengajaran tingkatan kitab-kitab klasik tersebut.
Seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren yang kecil dan kurang
terkenal mengajar sejumlah kecil santri tentang beberapa kitab dasar.
Sedangkan kyai yang terkenal dan kharismatik biasanya memiliki sebuah
pesantren yang cukup besar dengan mengajarkan sejumlah santri yang cukup
banyak tentang kitab-kitab besar.
c. Guru Tarekat
Seorang
kyai yang kharismatik selain mengajarkan kitab-kitab klasik, seperti
yang telah diterangkan terdahulu, juga mengajarkan praktek tarekat.
Pengajaran tarekat di Banten memiliki sejarah yang sangat panjang.
Sebuah “pesantren” tua yang terkenal bernama Karang, yang terletak di
sekitar Gunung Karang, sebelah barat kota Pandeglang sekarang diduga
telah mengajarkan tarekat Qodariyah. Dalam Serat Centhini, dijelaskan
bahwa sang pertapa yang bernama Dandarma, mengaku telah belajar tiga
tahun di Karang di bawah bimbingan seorang guru “Seh Kadir Jalena”; yang
diduga dimaksudkan ia belajar ilmu atau ngelmu yang dikaitkan dengan
sufi besar Abd al-Qadir Al- Jailani.
Hal tersebut juga dikuatkan
dengan tokoh utama dalam Serat Centhini, Jayengresmi alias Among Raga
yang berguru di sebuah perguron di Karang di bawah bimbingan seorang
guru yang berasal dari Arab bernama Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar, yang
lebih dikenal sebagai Ki Ageng Karang. [18] Oleh karena itu wajar
apabila para tarekat sudah sangat dikenal di lingkungan istana
kesultanan Banten semenjak awal didirikannya kesultanan itu. Pendiri
kerajaan Banten, Maulana Hasanuddin, telah dibai’at untuk menganut dan
mempraktekkan wirid tarekat Naqsabandiyah. [19]
d. Guru Ilmu Hikmah (Ilmu Ghaib)
Para
kyai yang menjadi mursyid suatu tarekat tidak hanya dikenal sebagai
pemimpin atau guru tarekat tetapi juga dikenal sebagai guru ilmu hikmah
atau ilmu-ilmu ghaib. Banten hingga kini memiliki reputasi yang cukup
dikenal sebagai daerah tempat bersemayamnya ilmu-ilmu gaib sehingga
tidak sedikit orang Banten yang memanfaatkan reputasi ini dengan
bertindak sebagai juru ramal, pengusir setan, pengendali roh, pemulih
patah tulang, tukang pijat dan tabib, pelancar usaha untuk mendapat
kekayaan, kedudukan dan perlindungan supranatural serta kedamaian jiwa.
Kyai
yang dikenal sebagai guru ilmu hikmah di Banten adalah Ki Armin (K.H.
Muhamad Hasan Amin) dari Cibuntu, Pandeglang. Beliau adalah kemenakan
dari Kyai Asnawi Caringin, guru tarekat Qodariyyah wa Naqsabandiyah yang
sangat terkenal di Banten. Banyak cerita yang tersebar di kalangan
rakyat tentang kekuatan-kekuatan ajaib diseputar kyai ini, seperti
kemampuannya untuk melihat apa yang belum terjadi, karier yang cepat
atau kekayaan yang datang secara tiba-tiba yang terjadi kepada beberapa
orang yang telah mendapatkan restunya. Kyai lain yang juga dikenal
memiliki ilmu hikmah adalah Ki Dimyati, yang memimpin sebuah pesantren
di Cisantri, Pandeglang.
e. Mubaligh
Seorang kyai
tidak hanya tinggal diam di pesantren mengajarkan kitab-kitab klasik
kepada para santrinya atau menetap di suatu tempat dan umatnya datang
untuk minta nasehat, doa dan kebutuhan praktis lainnya. Kyai juga aktif
melakukan ceramah agama kepada masyarakat luas secara berkeliling,
sehingga disebut dengan mubâligh (orang yang menyampaikan pesan agama
Islam).
Dalam pemberontakan di Cilegon yang terjadi pada tahun
1888, peran para mubâligh sangat penting dalam memobilisasi massa untuk
melakukan pemberontakan. Para kyai, yang terdiri dari para guru tarekat,
para syarîf dan sayyid, banyak berkhutbah secara berkeliling untuk
melakukan pembinaan kerohanian masyarakat. Disadari, hal tersebut turut
memberikan pengaruh yang sangat besar dalam meningkatkan kehidupan
kerohanian rakyat. [20]
H. Udi Mufrodi, salah seorang kyai,
sering memberikan ceramah keagamaan pada berbagai acara keagamaannya di
wilayah Banten dan daerah-daerah lain seperti Lampung dan Jakarta.
Menurutnya bahwa untuk menjadi penceramah/mubâligh tidak hanya memiliki
kemampuan memahami pesan-pesan agama, retorika yang baik tetapi juga
harus mampu memahami kehendak masyarakat dan memiliki ilmu-ilmu batin.
Sebab, menurutnya menjadi mubâligh itu penuh dengan tantangan, karena
mungkin pesan-pesan yang disampaikan itu banyak bersinggungan dengan
kepentingan seseorang atau kelompok tertentu.
Peran Sosial Jawara
Perubahan
sosial yang cukup besar yang terjadi pada rakyat Banten telah merubah
persepsi masyarakat tentang peran-peran jawara. Bahkan, sebagian
masyarakat ada yang menginginkan istilah jawara dihilangkan, sehingga
citra budaya “kekerasan” yang selama ini melekat pada “orang luar”
terhadap masyarakat Banten bisa dihilangkan. Meskipun demikian,
peran-peran sosial dan politik yang dimainkan oleh orang-orang yang
selama ini dikenal “jawara” saat ini sangat besar di wilayah Banten.
Para tokoh jawara, yang kini menamakan dirinya pendekar, menduduki
sektor-sektor penting dalam bidang ekonomi, sosial dan politik di
Banten. [21]
Peran-peran tradisional sosial jawara dalam
masyarakat Banten berlangsung turun naik. Hal ini pula yang merubah
persepsi masyarakat terhadap jawara. Pada waktu situasi sosial yang
kurang stabil, peran jawara biasanya sangat penting, tetapi ketika
masyarakat dalam keadaan damai peran mereka kurang diperlukan. Bahkan
sering dipandang negatif karena perilakunya yang sering melakukan
kekacauan dan kekerasan dalam masyarakat dan melakukan tindakan
kriminal. [22] Namun demikian peran-peran sosial yang sering dimainkan
oleh para jawara adalah di seputar kepemimpinan seperti menjadi jaro
(lurah), penjaga keamanan desa (jagakersa) dan guru silat dan guru ilmu
magis.
a. Jaro
Di daerah pedesaan di wilayah Banten
terdapat pengurus desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa yang
sering disebut jaro. [23] Seorang jaro memimpin sebuah kejaroan
(kelurahan). Pada zaman Kesultanan Banten, kepala desa (jaro) diangkat
oleh Sultan. Tugas utama jaro adalah mengurus kepentingan kesultanan,
seperti memungut upeti dan mengerahkan tenaga untuk kerja bakti. [24]
Dalam pekerjaan sehari-harinya, seorang jaro dibantu oleh
pejabat-pejabat, yakni: carik (sekretaris jaro), jagakersa (bagian
keamanan), pancalang (pengantar surat), amil (pemungut zakat dan pajak),
merbot atau modin (pengurus masalah keagamaan dan mesjid). [25]
b. Guru silat
Sejarah
ilmu persilatan di Banten memiliki akar yang sangat panjang. Di dalam
Serat Centhini disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal
istilah “paguron” atau “padepokan” di daerah dekat sekitar Gunung
Karang, Pandeglang. [26] Dalam masyarakat Banten dikenal berbagai macam
perguron, seperti Terumbu, Bandrong, Paku Banten, Jalak Rawi, Cimande,
Jalak Rawi, si Pecut dan sebagainya. [27] Setiap perguron memiliki
jurus-jurus dan karakteristik yang berbeda-beda bahkan sejarah
kelahirannya. Kini semua perguron tersebut ada dalam sebuah P3SBBI
(Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia) di
bawah pimpinan H. Tb. Chasan Sochib.
c. Guru Ilmu Batin (Magis)
Seorang
jawara yang terkenal biasanya selain memiliki kemampuan bela diri yang
baik juga memiliki ilmu “batin” atau magis, yakni kemampuan untuk
memanipulasi kekuatan supranatural untuk memenuhi keputusan praktisnya,
seperti kebal dari berbagai senjata tajam, tahan dari api, juru ramal,
pengusir jin atau setan, pengendali roh dan pengobatan, seperti patah
tulang dan tukang pijit.
Kecenderungan terhadap kekuatan
supranatural seperti di daerah Banten ini, memang memiliki akar yang
sangat dalam. Sebelum Islam datang ke daerah ini sudah ada para resi
yang melakukan tapa, yakni sebuah praktik meditasi untuk mendapatkan
kesaktian. Bahkan, diceritakan pula bahwa Sultan Hasanuddin sebelum
menguasai daerah Banten ini melakukan tapa di tempat-tempat yang selama
ini dianggap sebagai pusat kosmis di Banten, yakni Gunung Pulosari,
Gunung Karang dan Pulau Panaitan sebelum ia berangkat ke Mekkah untuk
melakukan ibadah haji. [28]
Bentuk-bentuk elmu yang sering
dipergunakan para jawara adalah brajamusti (kemampuan untuk melakukan
pukulan dahsyat), ziyad (mengendali sesuatu dari jarak jauh), jimat atau
rajah untuk mencari kewibawaan, kekayaan atau dicintai seseorang,
putter gilling (untuk memutar kembali atau menemukan kembali orang yang
hilang atau kabur), elmu (untuk menaklukan binatang yang berbisa atau
berbahaya) dan sebagainya. [29]
d. Pemain Debus (Seni Budaya Banten)
Peran
jawara yang masih dekat dengan kesaktian adalah permainan debus.
Permainan debus ini banyak dilakukan oleh para jawara, yang dianggap
sudah memiliki kesaktian yang cukup. Jadi tidak semua jawara dapat
melakukan permainan debus, karena bagi yang tidak mampu justru akan
mendatangkan bencana atau kecelakaan.
Di Banten ada beberapa
macam debus, yakni debus al-madad, surosowan dan langitan. Dinamakan
debus al-madad (artinya meminta bantuan atau pertolongan) karena para
pemainnya setiap kali melakukan aksinya selalu mengucapkan kata-kata
al-madad, yang seolah menggambarkan bahwa tindakan ini didasarkan atas
pertolongan dari Allah SWT. Debus al-madad merupakan debus yang paling
berat karena untuk melakukan permainan ini khalifahnya (pemimpin group)
harus melakukan amalan yang sangat panjang dan berat. Amalan-amalan
khalifah debus ini diambil dari tarekat Rifa’iyah atau Qodariyah.
Sehingga seseorang yang mendapat ijazah untuk menjadi khalifah dari
permainan debus ini adalah mereka yang telah dianggap mampu atau lulus
menempuh suatu perjalanan panjang dalam mengamalkan suatu do’a-do’a
tertentu, melaksanakan puasa dan meditasi lama. [30]
Sedangkan,
debus surosowan adalah permainan debus yang tidak memerlukan kemampuan
yang tinggi. Karena itu, permainan debus ini bisa dilakukan oleh para
remaja. Nama “surosowan” berkaitan dengan nama istana Kesultanan Banten.
Nampaknya semenjak awal debus ini memang ditujukan untuk pertunjukan di
Istana Surosowan pada masa Kesultanan Banten bukan untuk mendapatkan
kesaktian. Hal ini berbeda dengan debus al-madad yang selain
dipergunakan untuk pertunjukan juga dipergunakan untuk kesaktian atau
pengobatan. Adapun, debus langitan adalah pertunjukan debus yang
mempergunakan anak-anak remaja yang dijadikan obyek sasaran benda-benda
tajam tanpa yang bersangkutan merasa sakit atau menderita luka-luka.
Permainan debus langitan ini pun nampaknya ditujukan hanya untuk
permainan belaka, bukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh atau
kesaktian.
e. Tentara Wakaf dan Khodim Kyai
Peran
jawara sebagai “tentara wakaf” ini dikoordinir oleh P3SBBI. Mereka
biasanya diterjunkan pada acara-acara yang dilaksanakan oleh suatu
organisasi atau partai politik. Pada masa Orde Baru “tentara wakaf” ini
dijadikan alat oleh Golkar sebagai satuan pengamanannya di Banten.
Bahkan, ketua umumnya sendiri dijadikan pengurus partai politik
tersebut. Namun, perubahan politik yang besar yang terjadi di negeri ini
pasca reformasi, juga ikut merubah pandangan politiknya. Mereka
sekarang nampaknya ingin bersifat lebih netral, dengan tidak berafiliasi
pada partai tertentu. Oleh karena itu, apabila ada tawaran-tawaran
untuk menjaga keamanan atau membantu polisi, mereka lebih terbuka dan
menerima tawaran tersebut tanpa lagi melihat afiliasi politik.
Jawara
yang sebenarnya adalah “khodim kyai”. Itulah suara-suara yang sering
muncul dari para warga yang tidak setuju dengan peran-peran dan perilaku
jawara sekarang ini. Peran sebagai “khodim kyai” maksudnya berperan
sesuai yang diajarkan para kyai, yakni: membela kebenaran, berpihak
kepada masyarakat yang lemah, berperilaku santun dan tidak sombong dan
sejumlah aturan normatif lainnya. Peran-peran yang ideal itu semakin
kurang dilakukan oleh para jawara di tengah kepungan kehidupan yang
materialistik.
Jaringan & Hubungan Kyai & Jawara
Kedudukan
dan peran sosial kyai dan jawara tersebut tidak bisa dilepaskan dari
adanya jaringan sosial antar mereka. Jaringan sosial tersebut terbentuk
dari hubungan adanya hubungan emosional yang dekat, yakni melalui jalur
kekerabatan, hubungan guru-murid (seguru; seelmu) dan berbagai
lembaga-lembaga sosial lainnya. Dalam masyarakat yang tradisional atau
yang sedang dalam transisi, seperti masyarakat Banten, jaringan sosial
itu terbentuk dengan cara-cara yang alamiah sehingga memiliki derajat
hubungan emosional dan solidaritas yang tinggi. Jaringan-jaringan sosial
itu terbentuk melalui hubungan kekerabatan, guru-murid dan
lembaga-lembaga sosial tradisional lainnya. Hubungan sosial yang
demikian dalam istilah Durkheim disebut dengan “solidaritas mekanis.”
[31]
Untuk mempertahankan hubungan sosial tersebut muncul
mitos-mitos bagi para pelanggarnya. Sehingga setiap individu dari
komunitas tersebut tetap mematuhi aturan sosial tersebut. Pelanggaran
terhadap norma sosial dalam masyarakat tradisional dipandang akan
merusak tatanan sosial yang lebih luas, yang akhirnya akan menimbul
chaos atau kekacauan. Demikian pula dengan kyai dan jawara dalam
mempertahankan status sosial mereka. Mereka membuat aturan-aturan
tertentu yang dapat mempertahankan status sosial mereka yang diiringi
dengan mitos-mitos tertentu bagi para pelanggarnya. Aturan-aturan adalah
ijazah dan kawalat. [32]
Ijazah adalah pernyataan restu dari
seorang guru kepada muridnya untuk mengamalkan atau mempergunakaan serta
mengajarkan suatu ilmu tertentu kepada orang lain. Ijazah ini sangat
penting karena diyakini dapat menentukan berguna atau tidaknya ilmu yang
diberikan oleh seorang guru terhadap muridnya. Pemberian ijazah ini
merupakan bentuk legitimasi bagi sang murid dari gurunya bahwa ia telah
dianggap menguasai ilmu (elmu) yang dipelajarinya. Dalam lingkungan
jawara, istilah ijazah juga diperlukan dalam mendapatkan atau
mengajarkan ilmu-ilmu yang bersifat magis. Tanpa ijazah dari sang guru
ilmu-ilmu magis itu tidak akan “manjur.”
Sedangkan, kawalat
(kualat) atau katulah adalah mendapat bencana, celaka atau terkutuk
karena telah melanggar suatu larangan (tabu) dari aturan-aturan sosial
yang telah ditetapkan. Seorang murid akan kawalat apabila dia dianggap
membangkang perintah gurunya. Bentuk-bentuk kawalat itu bermacam-macam,
seperti sakit yang tidak bisa diobati, gila, kecelakaan, bangkrut
usahanya dan sebagainya.
Jaringan Kyai
Kyai pada
masyarakat Banten sebagai elit sosial dalam melakukan peran-peran
kemasyarakatannya memiliki jaringan sosial. Karenanya, nilai-nilai yang
diajarkan tersebar secara luas dan tetap lestari dalam kehidupan
masyarakat. Jaringan sosial itu terbentuk melalui sistem kekerabatan,
perkawinan hubungan intelektual guru-murid, kerjasama antar pesantren
dan lembaga-lembaga sosial. [33] Melalui jaringan tersebut para kyai
dapat berperan secara maksimal dan juga status sosialnya selalu terjaga.
a. Kekerabatan
Seorang
kyai yang memimpin sebuah pesantren memiliki garis keturunan yang
selalu dijaga, yang sebagai besar para pendahulunya adalah para kyai dan
keturunan Sultan Banten. K.H. Asytari, seorang kyai keturunan Imam
Nawawi Tanara, Tirtayasa, Serang Banten. [34] Garis keturunannya
tersebut apabila dicermati adalah para kyai, sultan Banten, para
tokoh-tokoh ulama tasawuf sampai dengan Nabi Muhmmad Saw. Lebih
lengkapnya sebagai berikut:
1. K.H. Asytari
2. Imam Nawawi
3. Kyai Umar
4. Kyai Arabi
5. Kyai Ali
6. Kyai Jamad
7. Kyai Janta
8. Kyai Masbugil
9. Kyai Masqun
10. Kyai Masnun
11. Kyai Maswi
12. Kyai Tajul Arusy Tanara
13. Maulana Hasanuddin Banten
14. Maulana Syarif Hidayatullah
15. Raja Atamuddin Abdullah
16. Ali Nuruddin
17. Maulana Jamaluddin Akhbar Husain
18. Imam Sayyid Akhmad Syah Jalal
19. Abdullah Adzmah Khan
20. Amir Abdullah Malik
21. Sayyid Alwi
22. Sayyid Muhammad Mirbath
23. Sayyid Ali Khali’ Qasim
24. Sayid Alwi
25. Imam Ubaidiilah
26. Imam Ahmad Muhajir Ilallahi
27. Imam Isa al-Naqib
28. Imam Muhmmad Naqib
29. Imam Ali Ardhi
30. Imam Ja’far al-Shadiq
31. Imam Muhammad al-Baqir
32. Imam Ali Zainal Abidin
33. Sayyidina Husain
34. Sayyidatuna Fathimah Zahra
35. Nabi Muhammad Saw.
Seorang
kyai dan keturunannya sering dipercayai oleh masyarakat mendapat
karamah dan berkah dari Allah. Karamah dan berkah ini merupakan hal
penting bagi seorang kyai dan keturunan untuk mengembangkan dan
melanjutkan kepemimpinan pesantrennya. Dengan adanya hal tersebut para
kyai dan keturunannya mendapat legitimasi kuat untuk tetap
mempertahankan kedudukannya sebagai pemimpin pesantren dan elit sosial
di masyarakatnya dengan segala prestise sosial yang dimilikinya.
b. Guru-Murid
Perkembangan
Islam di Indonesia tidak lepas dari terjalinannya ikatan jaringan
intelektual antara para ulama di pusat-pusat intelektual Islam, seperti
Mekkah dan Madinah di Arab Saudi dan Kairo Mesir, dengan para muridnya
di Nusantara. Jaringan intelektual itu sedemikian penting, sehingga
setiap ada gerakan keagamaan di pusat-pusat Islam itu akan memiliki
pengaruh dalam kehidupan keagamaan di Nusantara. Demikian pula
kejadian-kejadian di Nusantara akan menjadi perhatian para ulama atau
syaikh-syaikh yang tinggal di negeri-negeri Arab tersebut [35] .
Berikut
ini contoh dari jaringan intelektual seorang murid dengan para
guru-gurunya. Kyai Tb. Khodim, putra K.H. Asnawi, yang telah menjadi
seorang mursyid dari tarekat Qodariyah wa Naqsabandiyah memiliki
silsilah guru-guru tarekat yang memang diakui oleh kyai-kyai lain yang
seangkatan dengannya. Silsilah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Nabi Muhammad Saw.
2. Ali bin Abi Thalib
3. Husein bin Fatimah Al-Zahra
4. Imam Zainal Abidin
5. Syaikh Muhamad al-Baqir
6. Syaikh Ja’far al-Shadiq
7. Syaikh Musa al-Kadzim
8. Syaikh Abi Hasan Alif bin Musa al-Ridha
9. Syaikh Ma’ruf al-Karkhi
10. Syaikh Sari al-Saqati
11. Syaikh Abi al-Qasim Junayd
12. Sayikh Abu Bakar al-Shibli
13. Syaikh Abd al-Wahid al-Tamimi.
14. Syaikh Abi al-Faraj al-Tartusi
15. Syaikh Abi Hasan al-Hiraki
16. Syaikh Abi Sa’id Mubarak al-Mahzum
17. Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani
18. Syaikh Abd al-Aziz
19. Syaikh Muhammad al-Hattaki
20. Syaikh Syams al-Din
21. Syaikh Syaraf al-Din
22. Syaikh Zayn al-Din
23. Syaikh Nur al-Din
24. Syaikh Waliyu al-Din
25. Syaikh Husham al-Din
26. Syaikh Yahya
27. Syaikh Abi Bakr
28. Syaikh Abd al-Rahim
29. Syaikh Ustman
30. Syaikh Kamal al-Din
31. Syaikh Abd al-Fattah
32. Syaikh Murod
33. Syaikh Syams al-Din
34. Syaikh Ahmad Khatib Sambas
35. Syaikh Abdul Karim Tanara
36. K.H. Asnawi
37. K.H. Ahmad Suhari
38. K.H. Khodim
c. Organisasi Massa
Para
kyai di Banten dalam membangun jaringan sosialnya tidak hanya terbatas
pada kekerabatan dan intelektual tetapi juga pada organisasi-organisasi
sosial yang ada. Lembaga-lembaga sosial keagamaan yang ada di Banten
adalah yang paling banyak di pergunakan oleh para kyai untuk membangun
jaringan sosialnya. Jaringan sosial tersebut berskala baik nasional
seperti Nahdatul Ulama (NU) maupun lokal, seperti Al-Khaeriyah,
Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar.
Para pendiri Al-Khaeriyah,
Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar nampak dari awal tidak dimaksudkan
untuk membentuk suatu organisasi sosial, tetapi lebih berorientasi
kepada lembaga pendidikan yang dipimpinnya semata. [36] Pada tulisan ini
akan dibahas salah satu dari ketiga organisasi lokal di daerah Banten,
yakni Al-Khaeriyah. Hal ini dikarenakan ketiganya memiliki karateristik
yang hampir sama. Maka, membahas salah satunya dianggap akan mewakili
yang lain.
Alumni dari pesantren ini, selain menjadi guru agama
atau tokoh masyarakat, juga banyak yang mendirikan pesantren atau
madrasah. Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan biasanya diberi nama
Al-Khaeriyah. Pemberian nama yang sama tersebut menyimbolkan bahwa
jalinan dengan lembaga induk dan antar para santri yang pernah mengenyam
pendidikan di Al-Khaeriyah tetap terjaga dengan baik. Dari
ikatan-ikatan yang terjalin secara emosional itu para alumninya
mendirikan organisasi massa dengan nama yang sama. [37]
Para santri dari alumni pesantren Al-Khaeriyah yang mendirikan dan memimpin pesantren di daerahnya masing-masing adalah:
1. K.H. Amad dari Pulo Merak-Serang
2. K.H. Ali Jaya dari Ciwandan-Cilegon.
3. K.H. Mohammad Nur dari Keramat Watu, Serang.
4. K.H. Muhamad dari Bojonegara Serang
5. K.H. Mohamad Zein dari Kramat Watu Serang
6. K.H. Mohamad Syadeli Kejayaan dari Keramat Watu Serang.
7. K.H. Ismail dari Keragilan Serang.
8. K.H. Karna dari Sumurwatu, Kragilan-Serang
9. Kyai Rosyidin dari Kubang Benyawak, Pulo Merak-Serang
10. Kyai Arifuddin dari Citangkil, Cilegon.
11. K.H. Rafe’i dari Barugbug, Ciomas, Padarincang, Serang,
12. K.H. Asy’ari dari Kadulesung, Pandeglang.
Jaringan Jawara
Para
jawara dalam membangun hubungan antar mereka dan dengan pihak lain
membangun jaringan yang khas. Salah satu yang khas dari kehidupan antar
mereka adalah rasa solidaritas yang tinggi. Apalagi kalau yang
menghadapi masalah tersebut adalah orang yang memiliki hubungan
emosional, seperti adanya hubungan kekerabatan, seguru-seelmu,
pertemanan dan sebagainya.
Jaringan yang dibentuk oleh para
jawara tersebut kini tidak hanya bersifat non-formal atau tradisional
tetapi juga kini memiliki organisasi masa yang tersendiri, yakni dengan
terbentuknya P3SBBI (Persatuan Pendekar Pesilatan dan Seni Budaya Banten
Indonesia). Organisasi para pendekar ini kini menghimpung lebih dari
100 perguron yang tersebar di 17 propinsi di Indonesia. Orginsasi ini
berpusat di Serang, Ibu Kota Propinsi Banten, yang kini masih dipimpin
oleh H. Tb. Chasan Sochib.
a. Kekerabatan
Meskipun
jaringan kekerabatan dalam kehidupan para jawara tidak seketat dalam
tradisi kehidupan para kyai, namun kekerabatan juga memiliki hal penting
dalam membina hubungan solidaritas dan pengajaran elmu-elmu kesaktian
dan magis. Para jawara akan membela sepenuhnya apabila ada salah seorang
dari kerabatnya itu dihina atau disakiti orang lain. Begitu pula para
jawara akan mengutamakan para kerabatnya, terutama anak laki-lakinya,
dalam mengajarkan elmu yang dimilikinya dari pada ke orang lain.
Rasa
solidaritas yang tinggi terhadap keluarga itu tidak lepas dari
nilai-nilai yang sering didengungkan dalam kehidupan mereka. Para jawara
sering menekankan bahwa kalau menjadi jawara harus (1) leber wawanen
(berani dan militan), (2), silih wawangi (sikap kekeluargaan) dan (3)
kukuh kana janji (memiliki komitmen yang kuat untuk menepati janji).
[38]
b. Seguru-seelmu
Dalam tradisi jawara
hubungan dengan guru, terutama yang menurunkan elmu kesaktian atau
magis, adalah sama kedudukannya dengan orang tua. Anak buah jawara
menyebut para gurunya (kepala jawara) itu dengan panggilan “abah”, yang
artinya sama dengan “bapak”. Panggilan itu menyimbolkan bahwa kedekatan
hubungan guru-murid adalah seperti kedekatan hubungan orang tua dengan
anaknya.
Kini jaringan seguru-seelmu ini sebenarnya masih
bertahan dengan baik dalam perguron-perguron persilatan yang masih tetap
bertahan, bahkan mampu mengembangkannya sehingga satu perguron memiliki
berapa cabang di daerah-daerah lain. Perguron-perguroan yang cukup
terkenal karena memiliki jaringan yang cukup besar adalah Trumbu,
Bandrong, TTKDH (Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir) dan Jalak Rawi.
c. Organisasi Massa
Organisasi
yang didirikan oleh para tokoh jawara adalah Persatuan Pendekar
Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBI) pada tahun 1971,
hampir bersamaan dengan didirikannya Satkar Ulama (Satuan Karya Ulama).
[39] Pendirian organisasi ini nampaknya juga tidak lepas dari campur
tangan pemerintah dalam rangka merangkul dan mengendalikan potensi
politik yang ada di wilayah Banten. [40]
Hubungan Kyai dan Jawara
Penjelasan
di atas tentang peran-peran yang dimainkan oleh kyai dan jawara serta
jaringan sosial yang dibangun oleh kedua menggambarkan dalam tahapan
yang lebih lanjut bahwa kedua kelompok masyarakat tersebut memiliki
kultur yang berbeda dalam lingkupan kebudayaan Banten. Kyai lebih banyak
berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial keagamaan.
Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam lembaga adat pada
masyarakat Banten. [41]
Kyai dan jawara merupakan sumber
kepemimpinan tradisional informal, terutama masyarakat pedesaan. Dalam
masyarakat yang masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin
terletak pada: (1) pengetahuan (baik tentang agama dan masalah
keduniawian/sekuler atau kedua-duanya), (2), kesaktian, (3), keturunan
dan (4) sifat-sifat pribadi. [42] Kyai mewakili kepemimpinan dalam
bidang pengetahuan, khususnya keagamaan. Sedangkan, jawara mewakili
kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian dan kekuatan fisik
(kesaktian).
Dalam hubungan sosial bersifat integratif, jawara
membutuhkan kyai sebagai sebagai tokoh agama dan sumber kekuatan magis.
Sebagai tokoh, kyai merupakan alat legitimasi yang penting dalam
kepemimpinan jawara. Tanpa dukungan dari para kyai jawara akan sulit
untuk menjadi pemimpin formal masyarakat. Sedangkan, kepentingan kyai
terhadap jawara adalah bantuannya, baik fisik atau materi. Seorang
jawara yang meminta elmu (kesaktian dan magis) dari kyai, ia akan
memberikan sejumlah materi, seperti uang atau benda-benda berharga, yang
dinamakan dengan salawat. Pemberian salawat kepada kyai dipandang
sebagai penebus “berkah” kyai yang telah diberikan kepadanya. [43]
PENUTUP
Berdasarkan
penelitian di atas peneliti dapat menyimpulkan, bahwa adanya kedudukan,
peran dan jaringan membuat kyai dan jawara menciptakan kultur
tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten,
sehingga kyai dan jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi
juga telah menjadi kelompok yang memiliki nilai, norma dan pandangan
hidup yang khas. Itulah subkultur kyai dan jawara.
Dengan
kesimpulan tersebut kita dapat memahami: Pertama, kyai dalam masyarakat
Banten adalah sebuah gelar tradisional yang diberikan kepada seorang
“terpelajar” muslim yang telah membaktikan hidupnya “demi mencari ridha
Allah” dalam menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran agama Islam
kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan pesantren. Orang
yang menyandang gelar kyai dipandang sebagai ahli kebatinan, ahli
hikmah, memiliki kesaktian, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa
dan legitimite berdasarkan kepercayaan masyarakat. Karenanya, gelar kyai
merupakan suatu tanda kehormatan dalam kedudukan sosial, bukan suatu
gelar akademis yang diperoleh dalam pendidikan formal.
Sementara
itu, jawara adalah seorang atau sekelompok yang memiliki kekuatan fisik
dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti
kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan
sebagainya, sehingga bagi orang lain dapat membangkitkan rasa hormat dan
takut, serta kagum dan benci. Karena kelebihannya itu, ia dapat menjadi
seorang tokoh yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan
sosial mengalami krisis.
Kedua, kyai dalam masyarakat Banten
merupakan elit sosial dalam bidang sosial-keagamaan. Ia merupakan tokoh
masyarakat yang dihormati atas peran-peran yang dimiliki dalam
mengarahkan dan menata kehidupan sosial. Sedangkan, jawara berkedudukan
sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat. Ia menjadi tokoh yang
dihormati apabila ia menjadi pemimpin sosial berkat penguasaannya
terhadap sumber-sumber ekonomi. Keduanya merupakan sumber-sumber
kepemimpinan tradisional masyarakat yang memiliki pengaruh melewati
batas-batas geografis. Kebesaran namanya sangat ditentukan oleh
nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu
pengetahuan (agama dan sekular), kesaktian dan keturunannya.
Ketiga,
peranan yang dimainkan oleh kyai dalam kedudukan sebagai elit
sosial-keagamaan masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat
(kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah”
(ilmu ghaib) dan sebagai mubâligh. Peranan seorang kyai adalah selain
sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arah atau tujuan
kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu, ia lebih bersifat
memberikan penyerahan terhadap masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki
religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan,
apalagi bagi masyarakat yang masih bersifat agraris. Hal tersebut
menjadi ancaman laten terhadap kepemimpinan formal, sehingga peran
sosial-politik kyai dalam masyarakat Banten mengalami turun naik, sesuai
dengan situasi dan kondisi yang terjadi.
Sementara itu, peranan
sosial jawara adalah lebih cenderung kepada pengolahan kekuatan fisik
dan “batin,” sehingga dalam masyarakat Banten peran-peran tradisional
yang sering dimainkan para jawara adalah menjadi jaro (kepala desa atau
lurah), guru ilmu silat dan ilmu “batin” atau magis, satuan-satuan
pengamanan. Peranan tersebut bagi masyarakat yang pernah ada dalam
kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, memiliki signifikansi yang
tinggi. Namun demikian, saat ini peranan para jawara dalam sosial,
ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Banten sangat menentukan.
Tentunya, demikian ini mengalami peningkatan peranan yang signifikan
dibandingkan dengan peranan masa-masa lalu dalam sejarah kehidupan
masyarakat Banten, sehingga dapat menentukan masa depan kesejarahan
masyarakatnya
Keempat, jaringan tradisional yang dibangun
kelompok kyai dan kelompok jawara adalah mengandalkan hubungan kedekatan
emosional yang dalam. Karenanya, jaringan yang terbentuk pun melalui
hubungan kekerabatan, baik melalui hubungan nasab atau perkawinan,
hubungan guru dengan murid, lembaga sosial-keagamaan seperti perkumpulan
pesantren atau perguron.
Kelima, ketika membina hubungannya
dengan sesama subkultur, kyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang
lingkup kebudayaan Banten. Karena itu, sifat hubungan keduanya tidak
hanya bersifat simbiosis, saling ketergantungan, tetapi juga
kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kyai. Sebaliknya, kyai atas
jasanya tersebut menerima uang salawat (bantuan material) dari jawara.
Akan tetapi, juga banyak kyai yang tidak senang terhadap berbagai
perilaku jawara yang sering mengedepankan kekerasaan dalam menjalin
hubungan sosial.
Berdasarkan kesimpulan di atas dan refleksi kritis peneliti, ada dua hal yang perlu diperhatikan:
1.
Kyai sebagai salah satu sumber kepemimpinan tradisional dalam
masyarakat Banten kini mengalami tantangan kehidupan modernisasi yang
serius. Tak dapat dipungkiri bahwa peranan kyai dalam sejarah masa lalu
masyarakat Banten sangat besar, namun ke depan menjadi sebuah
tanda-tanya. Peranan kyai mungkin hanya akan menjadi catatan masa lalu,
apabila pemberdayaan dan peningkatan wawasan terhadap mereka tidak
dilakukan. Demikian pula dengan jawara. Kehidupan jawara yang sering
dipresepsikan masyarakat secara negatif perlu ada orientasi baru.
Meskipun usaha-usaha itu telah dilaksanakan oleh kalangan mereka
sendiri, namun perubahan itu baru dalam tahapan simbol, yakni perubahan
nama dari “jawara” ke “pendekar.” Secara substantsial nampaknya belum
banyak berubah, bahkan budaya tersebut justru digunakan oleh sekelompok
orang untuk meraih kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Maka,
pencerahan melalui pendidikan terhadap para jawara justru akan
menjadikan aset penting bagi peningkatan apresiasi terhadap kebudayaan
Banten.
2. Penelitian ini hanya merupakan langkah kecil dalam
mengungkap kehidupan sosial di Banten. Penelitian yang serius tentang
Banten banyak jauh tertinggal dibanding dengan kajian-kajian yang serupa
terhadap kebudayaan Jawa dan Sunda. Padahal, kebudayaan Banten sendiri
memiliki kekhasan sendiri yang membutuhan keseriusan intelektual dalam
mengeksplorasinya. Tentunya, persoalan ini merupakan tantangan
intelektual bagi para peneliti dan ilmuan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ambary,
Hasan Ambary dan Halwany Michrob, “Bandar Banten, Penduduk dan Golongan
Masyarakatnya: Kajian Historis dan Arkeologis serta Prospek Masyarakat
Banten ke Masa Depan,” dalam Makalah pada Simposium Internasional
Kedudukan dan Peranan Bandar Banten dalam Perdagangan Internasional,
Gedung DPRD Serang, 9 Oktober 1995.
Aminuddin, Sandji, ”Kesenian
Rakyat Banten,” dalam Makalah pada Diskusi Ilmiyah Kedudukan Bandar
Banten dalam Lalu Lintas Perdagangan Jalur Sutera, di Serang pada 18-21
Oktober 1993.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan
Pemikiran Islam di Indonesia, cet. IV, Mizan, Bandung, 1998.
Banten dalam Angka Tahun 2000, Bapeda Propinsi Banten & Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang.
Bellah, Robert N., Beyond Belief: Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, terj. Rudy Arisyah Alam, Paramadina, Jakarta, 2000.
van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, cet. III, Mizan, Bandung, 1999.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1985.
Ekadjati, Edi S., Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, Pustaka Jaya, Jakarta, 1995.
Geertz, Cilfford, The Religion of Java, University of Chicago Press, Chicago, 1970.
Guillot, Cluade, The Sultanate of Banten, Gramedia, Jakarta, 1990.
Guillot,
Claude, dkk, Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten
Girang 9321-1526, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1996.
Hefner,
Robert W., Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik,
terj. A Wisnuhardana & Imam Ahmad, LKiS, Yogyakarta, 1999.
Hobsbbawn, E.J., “Bandit Sosial” dalam Sartono Kartodirjo (ed.), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986.
Hodgson,
Marshall G.S., The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban
Dunia, Masa Klasik Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, Paramadina,
Jakarta, 1999.
Horikoshi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987.
Djajadiningrat, Hosein, Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, Djambatan, Jakarta, 1983.
Djalil
Afif, Abdul dkk., Dinamika Sistem Pendidikan Al-Khariyah: Suatu Kajian
tentang Arah Pembinaan dan Pengembangan dari Visi Keunggulan, Laporan
hasil penelitian, Fakultas Syari’ah IAIN “SGD” di Serang 1997.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid II, terj. Robert M.Z. Lawang, Gramedia, Jakarta, 1986.
Kahin, Audery R., Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, terj. Satyagaha Hoerip, Grafiti, Jakarta, 1990.
Kartodirdjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, Pustaka Jaya, Jakarta, 1984.
_________, Modern Indonesia: Tradition and Transformation, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1984.
Jackson,
Karl D., Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul
Islam Jawa Barat, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1990.
Lukes, Steven, Emile Durkheim: His Life and Work, Penguin Books, New York, 1981.
Madge, John, The Origins of Scientific Sociology, The Free Press, New York, 1968.
Mansur,
Khatib, Perjuangan Rakyat Banten Menuju Propinsi: Catatan Kesaksian
Seorang Wartawan, Antara Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
_________
dan Moenthadim, Martin (eds.), Profile Haji Chasan Sochib Beserta
Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten, Pustaka Antara
Utama, Jakarta, 2000.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994.
Michrob, Halwany dan Chudari, A. Mudjadid, Catatan Masa Lalu Banten, Saudara, Serang, 1993.
Muzakki, Makmun “Tarekat dan Debus Rifaiyyah di Banten”, Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1990.
Rubington, Earl and Weinberg, Martin S., Deviance: The Interactionist Perspective, Macmillan Publishing, New York, 1987.
Short,
James F., “Subculture” dalam Adam Kuper and Jessica Kuper (eds.), The
Social Science Encyclopaedia, The Macmillan Company and Free Press, New
York, 1972.
Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1999.
Sunarta,
“Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya
Politik Lokal,” dalam Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran Bandung, 1997.
Suharto, “Banten Masa Revolusi
1945-1949: Proses Integrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”,
Disertasi pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, 2001.
_________, Revolusi Sosial di Banten 1945-1946: Suatu Studi Awal, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1996.
Suparlan,
Parsudi, “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama”, dalam Parsudi Suparlan
(ed.), Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial dan Pengkajian
Masalah-Masalah Agama, Puslitbang Depag RI, Jakarta, 1981.
Steenbrink, Karl A., Pesantren, Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, LP3ES, Jakarta, 1984.
_________, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
Tihami, M.A., “Kyai dan Jawara di Banten,” dalam Tesis Master Univervesitas Indonesia, 1992.
_________,
“Sistem Pemerintahan Desa Tradisional di Banten,” dalam Makalah pada
Lokakarya Nilai Kaolotan Banten dalam Kerangka Desentralisasi Desa,
Anyer-Serang, 11-13 April 2002.
Turner, Jonathan H., The Structure of Sociological Theory, Wadsworth Publishing Company, Belmont, 1998.
Turner,
Ralph H., “Social Roles: Sociological Aspects”, dalam International
Encyclopaedia of Social Sciences, Macmillan, New York, 1968.
Williams, Michael Charle, Communism, Religion, and Revolt in Banten, Center for International Studies, Ohio University, 1990.
Willner,
Ann Ruth dan Willner, Dorothy “Kebangkitan dan Peranan
Pemimpin-pemimpin Kharismatik” dalam Sartono Kartodirdjo, (ed.),
Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986.
Weber,
Max, The Theory of Social and Economic Organization, trans. Henderson
and Talcott Parsons, The Free Press, New York, 1966.
Woodward, Mark R. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, LKiS, Yogyakarta, 1999.
Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986.
Sumber situs : http://www.ditpertais.net/
[21]
H. Chasan Sochib seorang jawara yang kharismatik di Banten memiliki
lebih dari 20 jabatan penting, mulai sebagai ketua umum pengurus besar
pendekar, ketua umum satkar ulama, ketua umum Kadin Banten sampai
penasehat ikatan persaudaraan Lampung, Banten dan Bugis. Lebih jauh
lihat Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Chasan Sochib, Beserta Komentar
100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten¸ (Jakarta: Pustaka Antara
Utama, 2000). Dalam bidang politik pun, pengaruh jawara sangat besar.
Hal ini bisa dilihat dari terpilihnya Hj. Ratu Atut Chosiyah, anak
perempuan Chasan Sochib, sebagai wakil gubernur Propinsi Banten untuk
periode 2001-2006. Ada pendapat yang bisa dipahami oleh masyarakat
Banten, bahwa terpilihnya Joko Arismunandar sebagai gubernur Propinsi
Banten yang pertama, karena didukung oleh para tokoh jawara, yakni
dengan bersedianya didampingi oleh anak perempuan tokoh jawara Banten,
Hj. Ratu Atut Chosiyah.
[22] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 83
[23]
Sebenarnya asal-usul kata jaro tidak jelas dan semenjak kapan kata
tersebut dipergunakan untuk menunjukan suatu wilayah administrasi
pedesaan. Menurut M.A. Tihami bahwa jaro itu berasal dari bahasa Arab
“jar” yang artinya tetangga. Sebuah desa Banten pada zaman dulu memang
mengelompok dalam suatu daerah tertentu sehingga antar satu keluarga
dengan keluarga lainnya adalah bertetangga (jar). Sehingga suatu daerah
yang sudah dihuni oleh banyak keluarga dikenal dengan kejaroan, maka
orang yang menjadi pemimpin dari suatu kejaroan tersebut disebut jaro.
Lihat M.A. Tihami, “Sistem Pemerintahan Desa Tradisional di Banten,”
dalam Makalah pada Lokakarya Nilai Kaolotan Banten dalam Kerangka
Desentralisasi Desa, Anyer-Serang, 11-13 April 2002.
[24] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 81.
[25] Ibid.
[26] Martin van Bruinessen, op.cit., hlm. 25.
[27] Khatib Mansur dan Martin Moenthadim (ed.), op.cit., hlm. 2.
[28] Husein Djayadiningrat, op.cit., hlm. 34.
[29]
M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten” Tesis pada Program
Pascasarjana Fakultas Sastra Program Studi Antropologi, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1991), hlm. 157-166.
[30]
Sebenarnya memang ada hubungan yang dekat antara tarekat dengan
permainan debus, terutama debus al-madad, dalam hal wasîlah atau
hadlarat kepada para silsilah syaikh-syaikh sufi dan pengamalan
doa-doanya. Lebih jauh lihat Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus
Rifaiyyah di Banten”, dalam Skripsi Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, 1990.
[31] Steven Lukes, Emile Durkheim: His Life and Work, (New York: Penguin Books, 1981), hlm. 140.
[32] Lihat M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten”, op.cit., hlm. 181.
[33] Zamakhsyari Dhofier, op.cit., hlm. 61-62.
[34] Sumber berasal dari Yayasan Nawawi Tanara Banten.
[35]
Jaringan intelektual yang terjalin antara ulama di timur Tengah dengan
para ulama di Nusantara terutama pada abad XVII dan XVIII dijelaskan
secara komprehensif oleh Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar
Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998).
[36]
Al-Khaeriyah didirikan oleh K.H. Syam’un berlokasi di
Citangkil-Cilegon. Mathlaul Anwar didirikan oleh K.H. Abdurahman yang
bertempat di Menes Pandeglang. Sedangkan, Mathlaul Anwar didirikan oleh
K.H. Asnawi di Caringin-Labuan, Pandeglang.
[37]
Organisasi masa yang menghimpun para alumni lembaga Al-Khaeriyah kini
dipimpin oleh Prof. Dr. H. M.A. Tihami, M.A. yang juga Ketua STAIN
“SMHB” Serang.
[38] Sunatra, “Integrasi dan
Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal”,
dalam Disertasi Pada Program Pascasarjana, (Bandung: Universitas
Padjadjaran, 1997), hlm. 2002.
[39] Lihat hasil
wawancara dengan Haji Tb. Chasan Sochib dalam buku yang disunting oleh
Khatib Mansur dan Martin Moentadhim S.M., (eds). op.cit., hlm. 87.
[40] Hasil wawancara dengan Aep, salah seorang pengurus P3SBBI pada 2 Oktober 2002 di Kantor PESBBI, Serang.
[41]
Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1995), hlm. 224. Lihat pula Sunatra, “Integrasi dan
Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal”,
hlm. 131.
[42] Karl D.Jackson, Kewibawaan
Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990).
[43] M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten,” op.cit., hlm. 103.
No comments:
Post a Comment