Komponen Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah
Pelaksanaan pembelajaran pada umumnya melibatkan beberapa komponen antara lain:
A. Tujuan mata pelajaran sejarah
Di dalam GBPP dijelaskan bahwa Mata pelajaran Sejarah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan
2. Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan
3. Menumbuhkan
apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah
sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau
4. Menumbuhkan
pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia
melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan
masa yang akan datang
5. Menumbuhkan
kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia
yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat
diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun
internasional.
B. Materi sejarah
Materi sejarah adalah sebagai berikut :
- mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik;
- memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan;
- menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa;
- sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari;
- berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
C. Ruang Lingkup
Mata pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
- Prinsip dasar ilmu sejarah
- Peradaban awal masyarakat dunia dan Indonesia
- Perkembangan negara-negara tradisional di Indonesia
- Indonesia pada masa penjajahan
- Pergerakan kebangsaan
- Proklamasi dan perkembangan negara kebangsaan Indonesia.
D. Siswa
Sebagai
subjek utama pendidikan, siswa memegang peran yang sangat penting dan
strategis. Siswa yang belajar sejarah diharapkan memiliki karakteristik
tersendiri sesuai dengan tujuan di atas.
Dengan
demikian mereka akan menjadi sosok yang unik dan luhur dalam
penampilan, bicara, pergaulan, ibadah, hak dan tanggung jawab, pola
hidup, kepribadian, watak, semangat, dan cita-cita serta aktivitas.
E. Guru
Guru
agama sebagai pengemban amanah pembelajaran sejarah haruslah orang yang
memiliki pribadi prosefesional. Hal ini merupakan konsekuensi logis,
karena dialah figure siswa.
F. Metode
Proses
belajar mengajar merupakan interaksi yang dilakukan guru dengan peserta
didik. Berbagai pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran sejarah
harus dijabarkan dalam metode yang bersifat prosedural. Metode diartikan
sebagai rencana menyeluruh tentang penyajian materi ajar secara
sistematis dan berdasarkan pendekatan yang ditentukan.[1]
Metode
apapun yang digunakan oleh pendidik dalam proses pembelajaran, yang
perlu diperhatikan adalah akomodasi menyeluruh terhadap prinsip-prinsip
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Pertama, berpusat kepada anak didik (student oriented). Kedua, belajar dengan melakukan (learning by doing) artinya
guru harus menyediakan kesempatan kepada anak didik untuk melakukan apa
yang dipelajarinya, sehingga memperoleh pengalaman nyata. Ketiga, mengembangkan
kemampuan sosial artinya proses pembelajaran dan pendidikan selain
sebagai wahana untuk memperoleh pengetahuan, juga sebagai sarana untuk
berinteraksi sosial. Keempat, mengembangkan keingintahuan dan imajinasi, artinya bahwa proses pembelajaran harus dapat memancing rasa ingin tahu (curiosity), dan memompa daya imajinatif anak untuk berpikir kritis dan kreatif. Kelima, mengembangkan kreatifitas dan ketrampilan memecahkan masalah artinya bahwa guru harus merangsang kreatifitas dan
kemampuan anak untuk menemukan jawaban terhadap problem yang mereka hadapi.
G. Media
Media dapat diartikan sebagai alat bantu yang diterapkan dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan secara optimal.[2]
Dalam hal ini, alat bantu yang digunakan oleh guru sejarah dalam rangka
mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Sebagaimana yang
dirumuskan oleh Raharjo bahwa media:[3]
1) Sebagai wadah dari pesan yang oleh sumbernya akan diteruskan pada sasaran pesan tersebut.
2) Materi yang ingin disampaikan adalah pesan pengajaran, dan tujuan yang ingin dicapai adalah terjadinya proses belajar.
Dengan
demikian media merupakan sesuatu yang bersifat menyalurkan pesan dan
dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga
dapat mendorong terjadinya proses belajar pada dirinya. Karena
penggunaan media secara kreatif oleh pendidik akan meningkatkan performance mereka sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Adapun fungsi media antara lain:
1) Penyaji stimulus, informasi, sikap dan lain-lain
2) Meningkatkan keserasian dalam penerimaan informasi
3) Mengatur langkah-langkah kemajuan serta memberikan umpan balik dan sebagainya.
Agar
tujuan yang hendak dicapai dan penggunaan media berfungsi, seorang
pendidik harus cerdas memilih media yang tepat untuk dipakai dalam
pembelajaran. Untuk itu pendidik perlu memperhatikan urgensi media:
1) Mengatasi keterbatasan pengalaman siswa
2) Mengatasi keterbatasan ruang kelas
3) Memungkinkan adanya interaksi langsung antara siswa dengan lingkungannya
4) Menghasilkan keseragaman pengamatan
5) Menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit dan realistis
6) Membangkitkan keinginan dan minat yang baru
7) Membangkitkan motivasi dan merangsang siswa untuk belajar
8) Memberikan pengalaman yang integral dari suatu yang konkrit sampai kepada yang abstrak.[4]
H. Strategi
Dalam
konteks pendidikan, strategi merupakan kebijakankebijakan yang mendasar
dalam pengembangan pendidikan sehingga tercapai tujuan pendidikan
secara lebih terarah, lebih efektif dan efisien.[5]
Dalam aplikasi pembelajaran, strategi merupakan langkahlangkah atau
tindakan-tindakan yang mendasar dalam proses belajar mengajar untuk
mencapai sasaran pendidikan maupun tujuan pembelajaran itu sendiri.
Menurut Newman dan Logan yang dikutip oleh Djamaludin Darwis, strategi merupakan dasar setiap usaha meliputi:
1)
Pengidentifikasian dan penetapan spesifikasi dari kualifikasi tujuan
yang akan dicapai dengan memperhatikan dan mempertimbangkan aspirasi
masyarakat yang memerlukan
2) Pertimbangan dan pemilihan cara atau pendekatan utama yang dianggap ampuh untuk menempuh sasaran
3) Pertimbangan dan pengetahuan langkah-langkah yang ditempuh sejak titik awal pelaksanaan sampai titik akhir pencapaian sasaran
4) Pertimbangan dan penetapan tolok ukur untuk mengukur taraf keberhasilan sesuai dengan tujuan yang dijadikan sasaran.[6]
I. Evaluasi
Makna
evaluasi pada dasarnya adalah memberikan pertimbangan atau harga nilai
berdasarkan nilai tertentu untuk mendapatkan evaluasi yang meyakinkan
dan objektif dimulai dari informasi-informasi kuantitatif dan
kualitatif. Dengan demikian evaluasi adalah suatu tindakan berdasarkan
pertimbangan yang arif dan bijaksana untuk menentukan nilai sesuatu,
baik secara kuantitatif dan kualitatif.[7]
Atau bisa diartikan sebagai penetapan baik-buruk, memadai-kurang
memadai, terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu yang disepakati
sebelumnya dan dapat dipertanggungjawabkan.
Davies,
sebagaimana dikutip oleh Dimyati dan Mujiono mengemukakan bahwa
evaluasi merupakan proses sederhana dengan memberikan/menetapkan nilai
kepada sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk-kerja, proses, objek,
dan sebagainya.[8] Jika demikian evaluasi bisa diartikan sebagai proses sistematis untuk menentukan nilai sesuatu (tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk-kerja, proses, orang, objek, dan lain-lain) berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian.
Penilaian
menjadi salah satu sarana evaluasi pendidikan, dan penilaian itu
sendiri bisa diwujudkan dalam bentuk tes tertulis, meskipun tidak harus
berupa tes tertulis. Dan tes yang dilakukan tidak sekedar mengukur
kecerdasan kognitif peserta didik tetapi perlu juga memperhatikan
kecerdasan afektif dan psikomotorik siswa sehingga penilaian yang
dilakukan tersebut benar-benar menghargai bermacam-macam potensi yang
dimiliki siswa.
Meskipun
demikian, realita yang berlaku di dunia pendidikan Indonesia, evaluasi
kerap kali dilakukan dengan tes yang hanya mengukur tingkat kecerdasan
kognitif peserta didik saja, tanpa memperhatikan jenis kecerdasan lain
yang sebenarnya dimiliki peserta didik namun tidak dihargai sebagai
sebuah kelebihan (point) dalam hal tertentu oleh pendidik-yang
sebenarnya juga menunjang prestasi di bidang tertentu-. Padahal tujuan
dari evaluasi itu untuk memperbaiki cara belajar, mengadakan perbaikan
dan pengayaan bagi siswa, serta menempatkan siswa pada situasi
pembelajaran (belajar-mengajar) yang lebih tepat sesuai dengan tingkat
kemampuan yang dimilikinya. Atau untuk memperbaiki atau mendalami dan
memperluas pelajaran, dan terakhir kali sebagai informasi kepada orang
tua.
Dalam
konteks pembelajaran ini, jenis evaluasi yang akan penulis sampaikan
terbatas pada evaluasi yang bersifat proses yaitu evaluasi pembelajaran
dan evaluasi hasil pembelajaran:
1)
Evaluasi pembelajaran merupakan suatu proses untuk menentukan jasa,
nilai atau manfaat kegiatan pembelajaran melalui kegiatan penilaian dan
evaluasi hasil pembelajaran.
2)
Evaluasi hasil belajar, merupakan proses untuk menentukan nilai belajar
siswa melalui kegiatan penilaian dan atau pengukuran hasil belajar.
Namun
demikian, tidak semua lembaga pendidikan, dalam hal ini sekolah,
melakukan evaluasi yang seragam. Terlebih sekolahsekolah otonom, mereka
memiliki cara dan teknik mengevaluasi tersendiri. Dan memang sudah
saatnya seharusnya setiap sekolah mengadakan evaluasi sesuai dengan
kemampuan sekolah tersebut.
[1] Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm 132
[2] Rahardjo. “Media Pendidikan”, dalam Chabib Thoha dan Abdul Mu’thi, PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar PAI, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 266
[4] Abdul Halim (ed), Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 14
[5] Djamaluddin Darwis, “Strategi Belajar Mengajar”. Dalam Chabib Thoha dan Abdul Mu’thi., op.cit., hlm 194
[6] Ibid
[7] Syaiful Bahri Jamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Bandung: Rineka Cipta, 2000), hlm. 207
[8] Dimyati dan Mujiono, op.cit., hlm. 190
No comments:
Post a Comment