Supaya bisa menikmati dunia barunya di Taman Kanak-kanak, anak butuh kematangan tertentu. Anda dapat membantu kesiapannya.
“Bagaimana sekolahnya? Senang?”
“Iya, Bunda. Tapi tadi di sekolah ada dua teman yang nangis. Ngapain
nangis ya Bunda? Sekolah saja kok menangis…,” jawab Prita.
Hari itu hari pertama Prita masuk Taman Kanak-kanak (TK). Sang Bunda
sabar menanti di rumah, karena Prita bersikeras ikut mobil antar jemput
seperti kakak-kakak di sekitar rumahnya. Prita tidak ingin diantar Bunda
atau pengasuhnya ke sekolah. Bagi Bundanya, hal itu sangat
menguntungkan. Artinya, ia tak perlu mengambil cuti terlalu lama untuk
menunggui Prita di sekolah.
Sebagian besar orang tua ingin mengalami “kemulusan” seperti yang
dialami Bunda Prita. Anak melewati hari-hari pertama masuk TK dengan
sukses: tanpa rengekan dan air mata minta ditunggui. Tapi, memang tak
semua anak siap seperti Prita. Ada anak yang butuh waktu cukup lama
untuk menyesuaikan diri dengan dunia barunya ini. Persiapan masuk TK
memang dapat dan harus dilakukan. Peran orang tua sangatlah penting
dalam hal ini.
Bangunan fisik, perlu dipertimbangkan
Ketika anak masuk TK, artinya ia keluar dari rumah dan
masuk ke dunia baru. Agar si kecil bisa memasuki dunia barunya dengan
enjoy , ia butuh persiapan psikologis. Bukan malah ia mengalami tekanan
psikologis.
Gerda K. Wanei, M.Psi , paedagog dari Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya Jakarta, mengatakan bahwa bangunan fisik sekolah
merupakan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan. “Gedung sekolah
yang tampak kuno dengan pagar tinggi, satpam bertubuh berwajah galak
dengan kumis melintang, tidak membuat anak senang. Anak lebih senang
dengan TK yang ada tamannya, gurunya muda-muda dan ceria, peralatannya
bagus. Buat anak, dunia baru haruslah dapat mengikatnya,” ujar Gerda,
yang juga Ketua Jurusan Program Bimbingan Konseling di Fakultas
Keguruan Ilmu Pendidikan, Atma Jaya.
Alzena Masykouri , M.Si dari Jurusan Psikologi
Perkembangan, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, sependapat
dengan Gerda. Menurut Alzena, “Sama seperti orang dewasa yang baru
pertama masuk kerja, anak prasekolah pun mengalami berbagai perasaan.
Misalnya, senang tapi juga cemas danmerasa tak nyaman.”
Sukes bergaul, sukses belajar?
Tidak sedikit orang tua beranggapan bahwa kemampuan anak
beradaptasi di TK merupakan penanda sukses tidaknya si kecil menjalani
hari-hari belajarnya di TK. Padahal, reaksi awal si kecil saat masuk TK
bukanlah ramalan keberhasilannya dalam belajar.
“Kalau anak masih menangis sampai beberapa hari, itu hal
biasa. Itu hanya masalah kemampuan menyesuaikan diri, bukan soal tidak
matang,” tegas Alzena. Gerda pun mengatakan bahwa anak yang masih
menjaga jarak ketika berada di lingkungan baru, bukan pertanda ia belum
matang untuk masuk TK. “Setiap anak punya karakter masing-masing,” ujar
Gerda.
Ketidakmampuan anak langsung berbaur bersama teman,
dialami Reti Riseti Sudrajat (38 tahun) . Yuqzan (kini 6 tahun) anak
kelima Reti. Ketika masuk TK-A di usia empat tahun Yuqzan menangis terus
selama beberapa hari. “Sampai akhirnya saya menunda memasukkannya ke
TK-A. Saya tunggu sampai Yuqzan berusia lima tahun. Saat itulah ia saya
nilai betul-betul siap dan bisa langsung membaur dengan kegiatan di TK,”
kenang Reti, yang juga seorang guru dan konselor keluarga.
Sejauh mana ketidakmampuan anak bergaul mengganggu proses
belajar selanjutnya? Menurut Alzena, ketidakmampuan si kecil bergaul
tidak akan mengganggu proses kegiatan selanjutnya. “Kecuali bila anak
menolak semua kegiatan yang harus dilakukan dan merasa tidak enjoy dalam
lingkungan itu,” ujar Alzena.
Kapan anak dianggap tidak siap?
Marcello (4 tahun), putra dari Diah Permatasari , artis
berusia 33 tahun, sudah masuk kelompok bermain. Tapi ketika pertama kali
masuk TK, ternyata dia sedikit rewel. “Dua hari pertama Marcello
menangis. Tapi setelah itu biasa-biasa saja. Malah dalam waktu satu
minggu ia sudah bisa bercerita tentang teman-temannya,” cerita Diah,
yang memilih TK berbahasa Inggris untuk Marcello. Dengan demikian,
apakah dapat dianggap Marcello belum matang untuk masuk TK?
“Umumnya anak butuh waktu satu minggu untuk menyesuaikan
diri. Setelah itu mereka, biasanya, dapat menjalani sekolah dengan
tenang, bermain dan bekerja sama dengan teman-temannya,” ujar Alzena,
yang juga ibu seorang anak balita.
Anak yang masih belum mampu membaur dan hanya menjadi
penonton teman-temannya, tidak bisa bekerja sama setelah lebih dari dua
minggu, menjadi pertanda ia belum matang secara sosial-emosional. “Meski
begitu, masih harus dilihat lagi kondisi anak, apakah ia anak
tunggal, anak bungsu atau anak dari orang tua yang overprotective ,”
papar Gerda. Menurut Gerda, bila ada kasus semacam ini, biasanya orang
tuanya dipanggil ke sekolah. Melalui orang tualah, penyebab semua itu
dapat diketahui.
Persiapan kematangan
Ketika memasuki TK, si kecil memasuki dunia baru yang di
dalamnya terdapat berbagai hal: teman baru, orang dewasa lain selain
orang tua dan pengasuh anak, yaitu guru, serta sejumlah kegiatan yang
mungkin belum pernah dilakukan anak. Untuk menghadapi ini semua, anak
butuh kesiapan fisik, kognitif dan sosial-emosional. “Jadi, meski
kebanyakan TK tidak mensyaratkan kemampuan kognisi tertentu, tetapi
tetap ada standar yang ditentukan. Misalnya, anak dapat membilang dari
satu sampai sepuluh secara berurutan. dan ini berkembang sesuai usia,”
ujar Alzena.
Alzena berperdapat, anak juga perlu matang secara
sosial-emosional, mengingat di dunia barunya ini anak dituntut memiliki
berbagai kemampuan sosial. Misalnya, kemampuan untuk berinteraksi dengan
teman sebaya, memperhatikan guru, mendengarkan orang lain bicara, tidak
memotong pembicaraan orang lain, mengekspresikan kemauannya dan bekerja
sama.
Di samping itu, menurut Gerda, ada dua hal penting yang
perlu dimiliki anak saat hendak masuk TK. Pertama, kemampuan self help
yaitu kematangan anak untuk dapat mengkomunikasikan kebutuhannya.
Misalnya, anak dapat mengatakan, ‘Bu Guru, saya mau pipis\\\'. Jangan
sampai anak terus-terusan ngompol karena tidak berani mengatakan
kebutuhannya. Kedua, social help yaitu kematangan anak untuk mengerti
kebutuhan orang lain. “Biasanya anak usia prasekolah masih egosentris,
yang dipikirkan diri sendiri terus. Kalau barangnya diambil teman dia
teriak-teriak, tantrum dan sebagainya. Kalau dia sudah mengerti
kebutuhan orang lain, dia tak akan bersikap seperti ini,” jelas Gerda.
Orang tua perlu paham
Namun tak semua orang tua paham soal kematangan yang
dibutuhkan oleh anak untuk masuk TK. Ada orang tua yang yakin betul
bahwa kematangan kognisi merupakan satu-satunya bekal untuk memasuki
prasekolah. Inilah keyakinan Reti ketika memasukkan anak sulungnya, Hani
, ke sekolah. Waktu itu Reti menilai Hani cukup cerdas di usia 5 tahun.
Ia pun langsung memasukkan Hani ke SD, tanpa lewat TK. “Karena emosinya
belum matang, Hani jadi mudah “meledak”,” begitu cerita Reti.
Berdasarkan pengalaman itu, Reti menilai pentingnya
kematangan sosial-emosional sebagai bekal si kecil masuk sekolah.
“Ternyata untuk masuk TK, anak juga perlu siap secara sosial-emosional.
Itu pun bisa berbeda pada setiap anak. Ada anak saya yang siap masuk TK
di usia 3 tahun, ada yang sudah siap di usia 4 tahun, ada pula yang baru
benar-benar siap di usia 5 tahun,” tutur ibu yang sedang menyiapkan
Yusak (4 tahun), anak keenamnya, untuk masuk TK.
Persiapkan dari rumah
Melatih anak terampil berteman, melatih anak terampil
menolong diri sendiri dan melatih anak mampu mengucapkan secara verbal
kebutuhannya, berlangsung lama. Oleh karenanya, hal itu perlu dilatih
sejak dini, agar saat si kecil memasuki TK, ia siap.
Menurut Gerda, mematangkan aspek sosial-emosional tidak
sama dengan melakukan induksi atau percepatan pematangan. “Melatih anak
usia tiga tahun untuk melipat pakaiannya sendiri atau mencuci piring,
berarti memberikan percepatan kematangan,” ujar Gerda mencontohkan.
Menurut Gerda, hal itu justru akan membuat anak lelah dan takut.
Sayangnya, tanpa disadari, orang tua kerap melakukan hal ini.
Alzena menyarankan, orang tua sebaiknya membantu anak
mematangkan aspek yang dibutuhkannya untuk masuk TK melalui kegiatan
sederhana. Misalnya, memberi kesempatan si kecil bermain bersama
teman-teman sebaya, bertanggung jawab atas barang-barang milik sendiri,
belajar mendengarkan orang lain berbicara, memberi salam, atau memahami
instruksi.
Sekarang ini kebanyakan orang tua menggunakan jasa kelompok
bermain untuk membantu mematangkan aspek-aspek yang akan diperlukan
anak untuk masuk TK, seperti halnya Diah. Marcello yang ikut kelompok
bermain di usia dua tahun, mendapat banyak latihan di kelompok
bermainnya. Misalnya, buang air kecil tanpa dibantu, dan bekerja sama
dengan teman-teman. Diah pun merasa terbantu, karena di rumah, Marcello
mampu untuk mandiri.
Namun, sebaiknya, anak dapat dipersiapkan di rumah,
bersama orang tuanya. Dari pengalaman, Reti belajar bahwa anak dapat
belajar dari anak lain. Anak yang kecil tertarik meniru perilaku anak
yang lebih besar. “Saya merasa beruntung anak saya banyak. Jadi,
anak-anak yang kecil belajar dari kakaknya bagaimana bersikap mandiri
dan bagaimana saling berbagi. Apa itu arti belajar, sudah saya
sosialisasikan pada anak-anak. Kemudian, bagaimana berangkat ke sekolah,
setiap anak belajar dari kakaknya,” papar Reti, yang menyebut
mempersiapkan anaknya masuk TK sebagai persiapan yang alami dan
mengandalkan lingkungannya.
Memberi fasilitas untuk mematangkan aspek lain, juga
dilakukan oleh Reti. Misalnya, membiarkan anak memanjat dan naik-turun
tangga. Ruang gerak pun diciptakan sedemikian rupa agar anak-anak
leluasa melakukan aktivitas fisik. Persiapan yang matang, memang, akan
lebih memudahkan si kecil Anda mengawali hari-hari pertamanya di TK.
Immanuella F. Rachmani
Bahan: Andi Maerzyda A. Th., Grahita Purbasantika Nugraha & IFR
Kiat Anak Tak Rewel di Hari Pertama Masuk TK
• Ajak anak saat memilih TK atau saat pendaftaran.
• Beberapa hari sebelum masuk TK, katakan pada anak ia akan sekolah.
• Beri gambaran tentang suasana sekolah.
• Sekali-sekali ajak anak mengunjungi sekolah saat pelajaran berlangsung
TK yang Baik…
• Halaman sekolah luas. Ini pertanda TK ini memperhatikan kebutuhan anak untuk bergerak.
• Guru-guru yang menyenangkan dan ceria.
• Sesuai karakteristik anak.
• Tidak memberi PR, karena ini artinya TK seperti itu melakukan induksi atau percepatan pematangan.
• Terbuka terhadap masyarakat. Misalnya melakukan open house.
Sumber : Ayahbunda Online
No comments:
Post a Comment